Minggu, 15 Desember 2013

Gerakan Pembaharuan Islam oleh Ibnu Taimiyah (1263-1328)

Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyah saja lahir pada 22 Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H dan wafat wafat pada 1328/20 Dzulhijjah 728 H, adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari HarranTurki.Ia berasal dari keluarga cendekiawan. Ayahnya bernama Shihabuddin Abdul Halimbin Taimiyah seorang ahli hadits, ulama, syaikh, hakim, dan khatib terkenal di Damascus. Demikianjuga kakeknya Syekh Majuddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani, adalah ulama terkemukayang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur'an (hafidz). 
Mereka semua adalah pemuka dalam mazhab Hambali.Ibnu Taimiyah belajar Al-Qur’an dan hadits dari ayahnya, kemudian sekolah di Damascus. Pada usia 10 tahun ia telah mempelajari kitab-kitab hadits utama, hafal Al-Qur’an, belajar ilmu hitung dan sebagainya. Kemudian ia tertarik mendalami ilmu kalam dan filsafat yang menjadi keahliannya. Karena penguasaannya di bidang kalam, filsafat, hadits, Al-Qur’an, tafsir dan fikih, pada usia 30 tahun ia sudah menjadi ulama besar pada zamannya. Ibnu Taimiyah kuat memegang ajaran kaum salaf.Ia juga seorang penulis yang tekun dan produktif. 
Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW danSahabat Nabi, kemudian Tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, danTabi'ut tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Tabi'in, adalah contoh yang terbaik untuk kehidupan Islam.Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun 1268), Ibnu Taimiyah dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak. 
Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Begitu tiba di Damaskus, ia segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, hafizh dan ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika umurnya belum mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan mendalami bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir. 
Suatu kali ketika ia masih kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar dari AleppoSuriah yang sengaja datang ke Damaskus khusus untuk melihat Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, iapun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya, sehingga ulama tersebut berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah sepertinya". 
Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama sehingga mempunyai kesempatan untuk membaca sepuas-puasnya kitab-kitab yang bermanfaat. Ia menggunakan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar dan menggali ilmu, terutama tentang Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. 
Ia adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.” 
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an. Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan. 
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam. 
Corak pemikiran Ibnu Taimiyah bersifat empiris sekaligus rasionalis. Empiris dalam arti bahwa ia mengakui kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan dalam pemikiran (al-haqîqah fi al-a’yân la fi al-adhhân), dan rasionalis dalam arti ia tidak mempertentangkan antara akal dengan naql (Al-Qur’an dan hadits) yang sahih. Ia menolak logika sebagai metode berpikir deduktif yang tidak dapat digunakan untuk mengkaji materi keislaman secara hakiki. Materi keislaman empiris hanya dapat diketahui melalui eksperimen dan pengamatan langsung (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993: 169). Adapun beberapa upaya pembaharuannya antara lain sebagai berikut. 
Pertama, sebagian besar aktivitasnya diarahkan untuk memurnikan paham tauhid.la menentang segala bentuk bid’ah, takhayul dan khurafat. Menurutnya, aqidah tauhid yang benar adalah aqidah salaf, aqidah yang bersumber dari teks Al-Qur’an dan hadits, bukan diambil dari dalil-dalil rasional dan filosofis. Dalam menjelaskan sifat-sifat Allah, ia mengemukakan bahwa sifat-sifat Allah secara jelas termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits. Pendapat yang membatasi sifat Allah pada sifat dua puluh dan pendapat yang menafikan sifat-sifat Allah, bertentangan dengan aqidah salaf. Walaupun ia menetapkan adanya sifat-sifat Allah, ia menolak mempersamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Ibnu Taimiyah menetapkan sifat-sifat Allah tanpa tamtsîl (menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan tanzih (menafikan sifat-sifat Tuhan).Ia juga gigih menentang penggunaan ta’wîl dalam menjelaskan sifat-sifat Allah. Ta’wîl kata “yad” (tangan) dengan kekuasaan tidak dapat diterimanya. Ia tetap mempertahankan arti “yad” dengan tangan. Demikian pula dengan ayat-ayat mutasyâbihât lainnya. Inilah yang ia sebut al-aqîdah al-wâsithiyah. 
Kedua,ia menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits, serta mendorong mereka melakukan ijtihad dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama. Menurutnya, metode penafsiran Al-Qur’an yang terbaik adalah tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.Jika tidak didapati dalam al-Qur’an, baru dicari dalam hadits.Jika penjelasan ayat tidak dijumpai dalam hadits, dicari dari perkataan shahabat.Kalau juga tidak didapati, maka dicari dalam perkataan tabi’în.Ayat Al-Qur’an harus ditafsirkan menurut bahasa Al-Qur’an dan hadits.Di sini tampak bahwa Ibnu Taimiyah adalah pembaharu yang mempergunakan metode berpikir kaum salaf. 
Ketiga, karena untuk kembali pada Al-Qur’an dan hadits diperlukan ijtihad, maka ia menentang taklid. la menolak sikap umat Islam yang mengekor pada para mujtahid yang telah mendahului mereka, sementara pokok persoalan sudah berubah. Taqlîd adalah sikap yang membuat umat Islam mundur, sebab taqlîd berarti menutup pintu ijtihad, membuat otak menjadi beku.Pahadal sudah sangat lama umat Islam berada dalam kegelapan akibat pintu ijtihad dinyatakan tertutup.Menurutnya, ijtihad terbuka sepanjang masa, karena kondisi manusia selalu berubah.Perubahan itu harus selalu diikuti oleh perubahan hukum yang sumbernya dari wahyu.Di sinilah fungsi ulama membimbing perubahan masyarakatnya sesuai dengan petunjuk wahyu. 
Keempat, di dalam berijitihad tidak terikat pada madzhab atau imam. Menurut Ibnu Taimiyah, pendapat siapa saja yang lebih tepat dan kuat argumennya, itulah yang diambil. Pengambilan pendapat dan argumen itu bukan didasarkan atas kemauan nafsu.Semua pendapat harus mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. 
Kelima, dalam bidang hukum Islam, Ibnu Taimiyah menawarkan suatu metode baru.Ia tidak mendasarkan keputusan hukum berdasarkan pada ‘illat, tetapi berdasarkan hikmah. Penerapan hukum Islam hendaknya mempertimbangkan aspek-aspek hikmah dalam keputusan hukum tersebut.Di sinilah sesungguhnya letak relevansi sekaligus keluwesan Ibnu Taimiyah dalam merumuskan ushul fiqh yang menjadi ijtihadnya. 
Ibnu Taimiyah wafat di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnul Qayyim, ketika beliau sedang membaca Al-Qur an surah Al-Qamar yang berbunyi "Innal Muttaqina fi jannatin wanaharin"[1] . Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Ia wafat pada tanggal 20 DzulHijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktuAshar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin. Jenazahnya dishalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah salat Zhuhur dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar