Nama
Lengkapnya adalah Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin
Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif
at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Ia lahir di Uyaynah pada 1730
M/l115 H dan wafat di Daryah tahun 1206 H (1793M). Ayah dan kakeknya adalah ulama terkenal di Najd/Nejad (Arab Saudi). Dari ayahnya ia memperoleh pendidikan di bidang
keagamaan dan mengembangkan minatnya di bidang tafsir, hadits, dan hukum
madzhab Hanbaliyah. Untuk meningkatkan pengetahuannya ia banyak melakukan
perjalanan mencari ilmu. Ia juga membaca karya-karya Ibn Taimiyah dan Ibn
al-Qayyim al-Jauziyah, sehingga ia benar-benar menjadi seorang ulama, ahli
hukum dan pembaharu ternama.
Dia adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan
yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah, yang kemudian berubah
menjadi Kerajaan
Arab Saudi. Dia juga merupakan seorang ulama
besar yang produktif, karena buku-buku karangannya
tentang islam mencapai puluhan buku, diantaranya
buku yang berjudul “Kitab At-Tauhid” yang isinya tentang pemberantasan syirik, khurafat, takhayul dan bid’ah yang terdapat di kalangan umat Islam dan
mengajak umat Islam agar kembali kepada ajaran tauhid yang murni.
Proses pembaharuannya
dimulai dengan banyak menyampaikan ceramah dan khutbah dengan berani dan
antusiasme. Oleh karena itu, ia cepat memperoleh banyak pendukung. Pada
permulaan ini pula ia melahirkan karya terkenal berjudul Kitâb al-Tauhîd.
Setelah kematian ayahnya pada 1740, Muhammad Ibn Abdul Wahhab semakin populer
dan gerakannya mendapat dukungan dari pemerintah Kerajaan Ibn Saud.
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama berusaha membangkitkan
kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini
sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu
Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri.
Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau
Muwahhidun, yang berarti "satu Tuhan".
Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul
dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan mereka
kerana mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan
alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab
dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan
keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya.
Sedangkan abangnya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu
masalah yang bersangkutan dengan agama.
Dia menempuh berbagai macam cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai
dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan,
beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika
perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para
umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu
dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus
mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat
ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh
dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan takhayul.
Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam
dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau
disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh
berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama
dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan,Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.
Inti gerakan pembaharuannya
adalah : pertama, pembaharuan Islam yang paling utama disandarkan pada
persoalan tauhid. Dalam hal ini, Muhammad Ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya
membedakan tauhid menjadi tiga macam; tauhîd rubûbiyah, tauhîd ulûhiyah
dan tauhîd al-asmâ’ wa al-sifât (C.M.Helm, 1981: 88-89). Menurut Abdul
Wahhab, Allah adalah Tuhan alam semesta yang maha kuasa, dan melarang
penyifatan kekuasaan Tuhan pada siapapun kecuali Dia. Dialah yang menciptakan
manusia dan alam dari tiada. Eksistensi Allah dapat dirasakan melalui
tanda-tanda dan ciptaan-Nya yang tersebar di seluruh alam, seperti siang dan
malam, matahari dan bulan, gunung-gunung dan sungai-sungai, dan seterusnya.
Allah adalah Tuhan yang berhak disembah. Segala urusan manusia sehari-hari
harus didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Tuhan sama sekali tidak dapat
dibandingkan dengan apapun (QS. Asy-Syûrâ/42: 11). Baik dan buruk berasal dari Allah dan manusia tidak
bebas berkehendak.
Wahhab tidak mempercayai
superioritas ras; superioritas atau inferioritas tergantung pada ketaqwaan pada
Allah. Tauhîd ulûhiyyah dipandang sebagai tauhîd amalî. Tauhid
ini didasarkan atas rukun Islam dan rukun Iman. Yang termasuk dalam tauhid ini
adalah semua bentuk ibadah harian, keyakinan dan tindakan iman serta perjuangan
dengan penuh kecintaan, ketaqwaan, harapan dan kepercayaan pada Allah.
Wahhab percaya pada makna
harfiah Al-Qur’an termasuk ungkapan-ungkapan antropomorfisme tentang Allah;
tetapi bukan berarti ini mengharuskan antropomorfisme bagi Allah. Ia
berpendapat bahwa orang beriman akan melihat Allah di surga, tetapi bentuk dan
rupa Allah melampaui akal manusia (Saedullah, 1973: 138).
Kedua, Wahhab sangat tidak setuju dengan para pendukung tawashshul.
Menurutnya, ibadah adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan. Usaha mencari
perlindungan kepada batu, pohon dan sejenisnya merupakan perbuatan syirik.
Demikian juga bertawassul kepada orang yang sudah mati atau kuburan orang suci
sangat dilarang dalam Islam dan Allah tidak akan memberikan ampunan bagi mereka
yang melakukan perbuatan demikian. Ini bukan berarti ziyarah kubur tidak
diperkenankan, namun perbuatan-perbuatan bid’ah, takhayul dan khurafat
yang mengiringi ziyarah semestinya dihindarkan agar iman tetap suci dan
terpelihara (Ayman al-Yassini, 1995: 307-308).
Ketiga, sumber-sumber syari’ah Islam adalah Al-Qur’an dan
Sunnah. Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman Allah yang tak tercipta, yang
diwahyukan pada Muhammad melalui malaikat Jibril; ia merupakan sumber paling
penting bagi syari’ah. Ia hanya mengambil keputusan berdasarkan ayat-ayat muhkamât
dan tidak berani mempergunakan akal dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât.
Maka, ia menyarankan agar kaum Muslim mengikuti penafsiran Al-Qur’an generasi al-salaf
al-shâlih. Sementara itu, Sunnah Nabi adalah sumber terpenting
kedua. Sedangkan ijma’ adalah sumber ketiga bagi syari’ah dalam pengertian
terbatas; ia hanya mempercayai kesucian ijma’ yang berasal dari tiga abad
pertama Islam, karena hadits yang memuat Sunnah Nabi sebagai jawaban atas
setiap masalah, dikembangkan Muslim selama 3 abad pertama (D.S. Margouliouth,
t.th.: 661). Ia menolak ijma’ dari generasi belakangan. Oleb karena itu,
menurutnya semua komunitas Muslim dapat melakukan kesalahan dalam menyusun
hukum-hukum secara independen melalui proses ijma’.
Wahhab juga akan tetap
memilih mengikuti hadits yang otentik daripada pendapat para ulama yang menjadi
idolanya, sekalipun seperti Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim.
Jadi, ia percaya bahwa hukum Islam dan dinamika kehidupan Muslim akan tetap
hidup dengan menekankan pentingnya ijtihad terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Namun
demikian, ia tidak keberatan bagi siapapun untuk mengikuti salah satu dari
empat madzhab Imam asalkan sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Keempat, serupa dengan Ibn Taimiyah, Wahhab menyatakan
pentingnya negara dalam memberlakukan secara paksa syari’ah dalam masyarakat
yang otoritas tertinggi ada di tangan khalifah atau imam yang harus bertindak
atas dasar saran ulama dan komunitasnya. Jika seseorang menjadi khalifah dengan
konsensus komunitas Muslim, maka ia harus ditaati. Ia juga memandang sah upaya
penggulingan khalifah yang tidak kompeten oleh Imam yang kompeten melalui
kekerasan dan paksaan. Namun demikian, khalifah yang tidak kompeten tetap harus
dipatuhi sepanjang ia melaksanakan syari’ah dan tidak menentang ajaran-ajaran
Al-Qur’an dan sunnah. Wahhab juga memuji pentingnya jihad untuk melaksanakan
syari’ah sekaligus menyebarkan syiar Allah ke seluruh penjuru dunia
(R.B.Winder, 1965: 12).
Pembaharuan Muhammad Ibn
Abdul Wahhab memurnikan Islam dari segala bid’ah, takhayul dan khurafat,
tampaknya menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan pembaharuan yang terjadi di
dunia Muslim dari waktu ke waktu. Di negara Arab sendiri ajaran-ajaran Wahhab
kemudian menjadi Wahhabi karena dukungan Ibn Saud dan putranya Abdul Aziz.
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan
waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan
kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai
menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdul Wahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal
1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun.
musiknya ngak mendukung :)
BalasHapus