Senin, 16 Desember 2013

Gerakan Pembaharuan Islam oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1838/1839-1897)


Nama Lengkapnya adalah Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Ia lahir di Uyaynah pada 1730 M/l115 H dan wafat di Daryah tahun 1206 H (1793M). Ayah dan kakeknya adalah ulama terkenal di Najd/Nejad (Arab Saudi). Dari ayahnya ia memperoleh pendidikan di bidang keagamaan dan mengembangkan minatnya di bidang tafsir, hadits, dan hukum madzhab Hanbaliyah. Untuk meningkatkan pengetahuannya ia banyak melakukan perjalanan mencari ilmu. Ia juga membaca karya-karya Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, sehingga ia benar-benar menjadi seorang ulama, ahli hukum dan pembaharu ternama.
Dia adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah, yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Dia juga merupakan seorang ulama besar yang produktif, karena buku-buku karangannya tentang islam mencapai puluhan buku, diantaranya buku yang berjudul “Kitab At-Tauhid” yang isinya tentang pemberantasan syirik, khurafat, takhayul dan bid’ah yang terdapat di kalangan umat Islam dan mengajak umat Islam agar kembali kepada ajaran tauhid yang murni.
Proses pembaharuannya dimulai dengan banyak menyampaikan ceramah dan khutbah dengan berani dan antusiasme. Oleh karena itu, ia cepat memperoleh banyak pendukung. Pada permulaan ini pula ia melahirkan karya terkenal berjudul Kitâb al-Tauhîd. Setelah kematian ayahnya pada 1740, Muhammad Ibn Abdul Wahhab semakin populer dan gerakannya mendapat dukungan dari pemerintah Kerajaan Ibn Saud.
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti "satu Tuhan".
Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan mereka kerana mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
Dia menempuh berbagai macam cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ahkhurafat dan takhayul.
Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di HindiaIndonesiaPakistanAfganistan,Afrika UtaraMaghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.
Inti gerakan pembaharuannya adalah : pertama, pembaharuan Islam yang paling utama disandarkan pada persoalan tauhid. Dalam hal ini, Muhammad Ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya membedakan tauhid menjadi tiga macam; tauhîd rubûbiyah, tauhîd ulûhiyah dan tauhîd al-asmâ’ wa al-sifât (C.M.Helm, 1981: 88-89). Menurut Abdul Wahhab, Allah adalah Tuhan alam semesta yang maha kuasa, dan melarang penyifatan kekuasaan Tuhan pada siapapun kecuali Dia. Dialah yang menciptakan manusia dan alam dari tiada. Eksistensi Allah dapat dirasakan melalui tanda-tanda dan ciptaan-Nya yang tersebar di seluruh alam, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, gunung-gunung dan sungai-sungai, dan seterusnya. Allah adalah Tuhan yang berhak disembah. Segala urusan manusia sehari-hari harus didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Tuhan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan apapun (QS. Asy-Syûrâ/42: 11). Baik dan buruk berasal dari Allah dan manusia tidak bebas berkehendak.
Wahhab tidak mempercayai superioritas ras; superioritas atau inferioritas tergantung pada ketaqwaan pada Allah. Tauhîd ulûhiyyah dipandang sebagai tauhîd amalî. Tauhid ini didasarkan atas rukun Islam dan rukun Iman. Yang termasuk dalam tauhid ini adalah semua bentuk ibadah harian, keyakinan dan tindakan iman serta perjuangan dengan penuh kecintaan, ketaqwaan, harapan dan kepercayaan pada Allah.
Wahhab percaya pada makna harfiah Al-Qur’an termasuk ungkapan-ungkapan antropomorfisme tentang Allah; tetapi bukan berarti ini mengharuskan antropomorfisme bagi Allah. Ia berpendapat bahwa orang beriman akan melihat Allah di surga, tetapi bentuk dan rupa Allah melampaui akal manusia (Saedullah, 1973: 138).
Kedua, Wahhab sangat tidak setuju dengan para pendukung tawashshul. Menurutnya, ibadah adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan. Usaha mencari perlindungan kepada batu, pohon dan sejenisnya merupakan perbuatan syirik. Demikian juga bertawassul kepada orang yang sudah mati atau kuburan orang suci sangat dilarang dalam Islam dan Allah tidak akan memberikan ampunan bagi mereka yang melakukan perbuatan demikian. Ini bukan berarti ziyarah kubur tidak diperkenankan, namun perbuatan-perbuatan bid’ah, takhayul dan khurafat yang mengiringi ziyarah semestinya dihindarkan agar iman tetap suci dan terpelihara (Ayman al-Yassini, 1995: 307-308).
Ketiga, sumber-sumber syari’ah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman Allah yang tak tercipta, yang diwahyukan pada Muhammad melalui malaikat Jibril; ia merupakan sumber paling penting bagi syari’ah. Ia hanya mengambil keputusan berdasarkan ayat-ayat muhkamât dan tidak berani mempergunakan akal dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât. Maka, ia menyarankan agar kaum Muslim mengikuti penafsiran Al-Qur’an generasi al-salaf al-shâlih. Sementara itu, Sunnah Nabi adalah sumber terpenting kedua. Sedangkan ijma’ adalah sumber ketiga bagi syari’ah dalam pengertian terbatas; ia hanya mempercayai kesucian ijma’ yang berasal dari tiga abad pertama Islam, karena hadits yang memuat Sunnah Nabi sebagai jawaban atas setiap masalah, dikembangkan Muslim selama 3 abad pertama (D.S. Margouliouth, t.th.: 661). Ia menolak ijma’ dari generasi belakangan. Oleb karena itu, menurutnya semua komunitas Muslim dapat melakukan kesalahan dalam menyusun hukum-hukum secara independen melalui proses ijma’.
Wahhab juga akan tetap memilih mengikuti hadits yang otentik daripada pendapat para ulama yang menjadi idolanya, sekalipun seperti Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Jadi, ia percaya bahwa hukum Islam dan dinamika kehidupan Muslim akan tetap hidup dengan menekankan pentingnya ijtihad terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Namun demikian, ia tidak keberatan bagi siapapun untuk mengikuti salah satu dari empat madzhab Imam asalkan sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Keempat, serupa dengan Ibn Taimiyah, Wahhab menyatakan pentingnya negara dalam memberlakukan secara paksa syari’ah dalam masyarakat yang otoritas tertinggi ada di tangan khalifah atau imam yang harus bertindak atas dasar saran ulama dan komunitasnya. Jika seseorang menjadi khalifah dengan konsensus komunitas Muslim, maka ia harus ditaati. Ia juga memandang sah upaya penggulingan khalifah yang tidak kompeten oleh Imam yang kompeten melalui kekerasan dan paksaan. Namun demikian, khalifah yang tidak kompeten tetap harus dipatuhi sepanjang ia melaksanakan syari’ah dan tidak menentang ajaran-ajaran Al-Qur’an dan sunnah. Wahhab juga memuji pentingnya jihad untuk melaksanakan syari’ah sekaligus menyebarkan syiar Allah ke seluruh penjuru dunia (R.B.Winder, 1965: 12).
Pembaharuan Muhammad Ibn Abdul Wahhab memurnikan Islam dari segala bid’ah, takhayul dan khurafat, tampaknya menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan pembaharuan yang terjadi di dunia Muslim dari waktu ke waktu. Di negara Arab sendiri ajaran-ajaran Wahhab kemudian menjadi Wahhabi karena dukungan Ibn Saud dan putranya Abdul Aziz. 
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdul Wahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun.

1 komentar: