Di antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan
bagi upaya pembaruan Islam adalah landasan teologis, landasan normatif dan
landasan historis.
Landasan Teologis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid
berakar pada warisan pengalaman sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah
landasan teologis yang mendorong munculnya berbagai gerakan tajdid (pembaruan
Islam). Selanjutnya, landasan teologis itu
terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu :
1.
Keyakinan bahwa Islam adalah agama universal
(universalisme Islam). Sebagai agama universal, Islam memiliki misi rahmah li
al-‘alamin, memberikan rahmat bagi seluruh alam. Universalitas Islam ini
dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan, mengatur seluruh
ranah kehidupan umat manusia, baik berhubungan dengan habl min Allah (hubungan
dengan sang khalik), habl min al-nas (hubungan dengan sesama umat manusia),
serta habl min al-‘alam (hubungan dengan alam lingkungan). Dengan terciptanya
harmoni pada ketiga wilayah hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan
hidup sejati di dunia dan di akherat, karena Islam bukan hanya berorientasi
duniawi semata, melainkan duniawi dan ukhrawi secara bersama-sama.
Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa
ajaran Islam berlaku pada setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia, baik
bagi bangsa Arab, maupun non Arab dalam tingkat yang sama, dengan tidak
membatasi diri pada suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok tertentu. Dengan
ungkapan lain bahwa nilai universalisme itu tidak bisa dibatasi oleh formalisme
dalam bentuk apapun.
Universalisme Islam juga memiliki makna bahwa Islam
telah memberikan dasar-dasar yang sesuai dengan perkembangan umat manusia.
Namun demikian, tidak semua ajaran yang sifatnya universal itu diformulasikan
secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karenanya, diperlukan upaya
untuk menginterpretasikannya agar sesuai dengan segala tuntutan perkembangan
sehingga konsep universalitas Islam yang mencakup semua bidang kehidupan dan
semua jaman dapat diwujudkan, atau diperlukan upaya rasionalisasi ajaran Islam.
Senada dengan hal di atas, Din Syamsudin mengatakan
bahwa watak universalisme Islam meniscayakan adanya pemahaman selalu baru untuk
menyikapi perkembangan kehidupan manusia yang selalu berubah. Islam yang
universal-shalih li kulli zaman
wa makan-menuntut aktualisasi nilai-nilai Islam dalam konteks
dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari upaya menemukan titik
temu antara hakikat Islam dan semangat jaman. Hakikat Islam yang rahmah li
al-‘alamin berhubungan secara simbiotik dengan semangat jaman, yaitu
kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa pencapaian
cita-cita kerahma-tan dan kesemestaan sangat tergantung kepada
penemuan-penemuan baru akan metode dan teknik untuk mendorong kehidupan yang
lebih baik dan lebih maju. Din Samsudin mengatakan bahwa keuniversalan
mengandung muatan kemodernan. Islam menjadi universal justru karena mampu
menampilkan ide dan lembaga modern serta menawarkan etika modernisasi.
2.
Keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang
diturunkan Allah Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai
seorang rasul Allah. Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa
Islam adalah agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang
berarti pasca Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan
diyakini pula bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu
yang paling sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup
sekalian agama yang diturunkan sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab yang lengkap,
sempurna, dan mencakup segala-galanya; tidak ada satupun persoalan yang
terlupakan dalam al-Qur’an. Keyakinan yang sama juga terhadap keberadaan Nabi
Muhammad Saw sebagai Nabi akhir jaman (khatam al-anbiya’), yang tidak akan
lahir (diutus) lagi seorang pun Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan risalah
yang dibawa Muhammad diyakini sebagai risalah yang lengkap dan sempurna.
Menurut Achmad Jainuri bahwa keyakinan akan Muhammad
sebagai Nabi penutup hendaknya dipahami bahwa berhentinya fungsi kenabian bukan
berarti terputusnya petunjuk Tuhan kepada umat manusia. Kondisi ini mengacu
pada ide bahwa setelah fungsi keNabian Muhammad selesai, secara fungsional,
peran ulama dipandang sangat penting untuk memelihara dinamika ajaran Islam.
Hal ini dipandang tidaklah berlebihan karena ulama adalah pewaris para nabi
(al’ulama’ waratsah al-anbiya’). Dari kalangan ulama itulah muncul para
mujaddid yang secara fungsional memelihara dinamika ajaran Islam yang dibawa
oleh Muhammad Saw sebagai pengemban risalah terakhir dari Tuhan. Dengan
perkataan lain bahwa kontinuitas petunjuk agama Wahyu dari Nabi Adam hingga
Muhammad melalui para Nabi, sedangkan dari Muhammad ke penerusnya melalui para mujaddid
yang secara institusional dimanifestasikan dalam berbagai ragam pemikiran serta
gerakan tajdid.
Landasan Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini
adalah landasan yang diperoleh dari teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun
al-Hadis. Banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan pijakan bagi pelak-sanaan
tajdid dalam Islam karena secara jelas mengandung muatan bagi keharusan
melakukan pembaruan. Di antaranya surat al-Dluha: 4. “Sesungguhnya yang
kemudian itu lebih baik bagimu dari yang dahulu”, Ayat lainnya adalah surat
ar-Ra’d: 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu
kaum sehingga mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri….”
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah
status umat dari situasi rendah menjadi mulia dan terhormat, umat Islam sendiri
harus berinisiatif dan berikhtiar mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya
maupun perilakunya. Dengan demikian, maka kekuatan-kekuatan pembaru dalam
masyarakat harus selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat melakukan
mekanisme penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.
Sementara itu, dalam hadis Nabi dapat kita temukan
adanya teks hadis yang menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini
pada setiap awal abad seseorang yang akan memperbarui (pema-haman) agamanya”.
Menurut Achmad Jainuri, dikalangan para pakar terdapat perbedaan interpretasi
mengenai kata ‘ala ra’si kulli mi’ati sanah (setiap awal abad) ini
berkaitan dengan saat munculnya sang mujaddid. Sebagian lain mengkaitkan dengan
tanggal kematian. Hal ini sesuai dengan tradisi penulisan biografi dalam Islam
yang biasanya hanya menunjuk tanggal kematian seseorang. Jika arti kata
tersebut dikaitkan dengan tanggal kelahiran, maka sulit dipahami karena
sebagian mereka yang disebutkan dalam daftar literatur sejarah Islam
telah meninggal dunia pada awal abad, yang berarti bahwa mereka belum melakukan
pembaruan. Atas dasar ini, maka sebagian lagi memahami dalam pengertian yang
lebih longgar dan menyatakan bahwa yang penting mujaddid yang bersangkutan
hidup dalam abad yang dimaksud. Terlepas dari adanya perdebatan sebagaimana di
atas (dalam memaknai awal abad), yang jelas bahwa ide tajdid dalam Islam
memiliki landasan normatif dalam teks hadis Nabi.
Landasan Historis
Di awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih
ada dan pengikutnya masih terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan
Madinah, Islam diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya berkata:
“sami’na wa atha’na”. Dalam perkembangannya, Islam baik secara etnografis
maupun geografis menyebar luas, dari segi intelektual pun membuahkan umat yang
mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari
ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan
lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan. Umat
Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil
mendominasi peradaban dunia yang cemerlang, sampai mencapai puncaknya di abad
XII-XIII M, di masa inilah, ilmu pengetahuan ke-Islaman berkembang sampai
puncaknya, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang non agama. Di jaman itu
pula para pemikir muslim dihasilkan. Mereka telah bekerja sekuat-kuatnya
melakukan ijtihad sehingga terbina apa yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan
Islam.
Setelah melalui kurun waktu lebih kurang lima abad
sampai ke puncak kejayaannya, sejarah kemajuan Islam mengalami kemandekan;
Islam menjadi statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Masa demi masa
kemundurannya semakin terasa. Pintu ijtihad dinyatakan tertutup digantikan
dengan taklid yang merajalela sampai menenggelamkan umat Islam ke lubuk yang
terdalam pada abad ke XVIII. Meskipun demikian, upaya pembaruan senantiasa
terjadi, di mana dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu sejak abad
XIII M (peralihan ke abad XIV M) Ibn Taimiyah telah tampil membendung-nya
(melakukan pembaruan).
Pembaruan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan
kepada tiga sasaran utama yaitu, sufisme, filosof yang mendewakan rasionalisme,
teologi asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik.
Ketiganya dipandang sebagai menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam
memberikan kritik selalu dibarengi seruan kepada umat Islam agar kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah serta memahaminya. Dalam perkembangan sejarahnya bahwa
gerakan pembaruan pasca Ibnu Taimiyah terus mengalami dinamisasi, dan
kontinuitasnya, serta mengalami beberapa variasi corak dan penekanannya
masing-masing sesuai dengan konteks waktu, tempat, dan problem yang dihadapi.
Gerakan-gerakan pembaruan itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
gerakan pembaharuan pra-modern dan gerakan pembaharuan pada masa modern.
Gerakan pembaharuan pra-modern (pasca Ibnu Taimiyah),
mengambil bentuknya terutama pada abad XVII dan XVIII M. Sementara itu, gerakan
modern terutama dimulai pada saat jatuhnya Mesir di tangan Napoleon Bonaparte
(1798-1801 M), yang kemudian menginsafkan umat Islam tentang rendahnya
kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya, serta memunculkan kesadaran akan
kelemahan dan keterbelakangan.
Walaupun gerakan pembaruan Islam secara garis besarnya
terbagi dalam dua batasan dekade yaitu pra-modern (abad XVII dan XVIII M) dan
modern (mulai abad XIX M), tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman
bahwa gerakan pembaruan yang dilancarkan pada abad tersebut pada dasarnya
menunjukkan karakteristik yang sama dengan gagasan pokok Ibnu Taimiyah yang
dipandang sebagai bapak tajdid, yaitu gerakan-gerakan pembaruan tersebut
mengedepankan rekontruksi sosio-moral masyarakat Islam sekaligus melakukan
koreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan mengabaikan masyarakat.
Adanya karakteristik yang sama pada gerakan-gerakan
pembaruan Islam, baik pra-modern maupun modern tersebut, dapat dilihat misalnya
pada abad XVII M. Syaikh Ahmad Sirhindi telah meletakan dasar teori reformasi
yang sama dengan Ibnu Taimiyah, juga menekankan pelaksanaan ajaran syariah
dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian gerakan wahabiah pada abad XVIII M yang
dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab dipandang lebih radikal dan tidak mengenal
kompromi terhadap semua pengaruh yang “non Islam” terhadap amal ibadah.
Gerakan-gerakan serupa juga muncul di kawasan dunia Islam lainnya. Shah
Waliyullah di India abad XVIII M, juga melakukan hal yang sama dengan apa yang
dilakukan oleh Syaikh Ahmad dalam sikapnya terhadap ajaran sufi yang
menyimpang. Namun, yang membedakannya dengan pendahulunya, gerakan Shah
Waliyullah juga memasuki dunia kehidupan sosial politik, di mana ia menentang
ketidakadilan sosial ekonomi yang menimpa rakyat, mengkritik beban pajak yang
ditanggung oleh kaum petani, serta menyerukan kaum muslimin untuk menegakkan
sebuah negara teritorial di India yang menyatu ke dalam bentuk sebuah
kekaisaran yang bersifat internasional.
Gerakan pembaruan pra-modern dengan dasar “kembali
kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijtihad” sebagaimana di atas, juga
me-warnai gerakan pembaruan pada era modern (abad XIX dan XX M). Sebagai misal,
gerakan pembaruan yang digerakkan dan dicetuskan oleh Muhammad Abduh, yang dirumuskan
dalam empat aspek yaitu: pertama, pemurnian Islam dari berbagai pengaruh ajaran
dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan khufarat); kedua, pembaruan sistem
pendidikan tinggi Islam; ketiga, perumusan kembali doktrin Islam sejalan dengan
semangat pemikiran modern; keempat, pembelaan Islam terhadap pengaruh-pengaruh
dan serangan-serangan Eropa.
Apa yang dilakukan oleh Abduh di atas, menunjukan
adanya karakteristik yang sama dengan era sebelumnya, yaitu adanya
purifikasionis-reformis. Apa yang dilakukan Abduh hanya sebagai salah satu
contoh, tentunya dapat ditemukan juga dalam gerakan dan pemikiran yang
dilakukan oleh tokoh lainnya.
Berkaitan dengan kesinambungan karakteristik gerakan
pem-baruan Islam baik pra-modern dan modern, menurut Voll dapat terlihat pula
pada tiga bidang atau tema yang digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk
kembali kepada penerapan ketat al-Qur’an dan Sunnah Nabi; kedua, keharusan
adanya ijtihad; ketiga, penegasan kembali keaslian dan keunikan pengalaman
Qur’an yang berbeda dengan cara-cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam
lainnya.
Uraian di atas menunjukan bahwa ide pembaruan Islam
yang berlandaskan teologis dan normatif, secara historis menunjukkan relevansi
dengan kedua landasan tersebut (teologis dan normatif). Oleh karenanya, gerakan
tajdid (pembaruan Islam) memiliki akar historis yang kuat sebagai pijakan bagi
kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar