Selasa, 17 Desember 2013

Landasan Pembaharuan dalam Islam


Di antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi upaya pembaruan Islam adalah landasan teologis, landasan normatif dan landasan historis.
Landasan Teologis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan pengalaman sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis yang mendorong munculnya berbagai gerakan tajdid (pembaruan Islam). Selanjutnya, landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu :
1.    Keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (universalisme Islam). Sebagai agama universal, Islam memiliki misi rahmah li al-‘alamin, memberikan rahmat bagi seluruh alam. Universalitas Islam ini dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan, mengatur seluruh ranah kehidupan umat manusia, baik berhubungan dengan habl min Allah (hubungan dengan sang khalik), habl min al-nas (hubungan dengan sesama umat manusia), serta habl min al-‘alam (hubungan dengan alam lingkungan). Dengan terciptanya harmoni pada ketiga wilayah hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di akherat, karena Islam bukan hanya berorientasi duniawi semata, melainkan duniawi dan ukhrawi secara bersama-sama.
Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia, baik bagi bangsa Arab, maupun non Arab dalam tingkat yang sama, dengan tidak membatasi diri pada suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa nilai universalisme itu tidak bisa dibatasi oleh formalisme dalam bentuk apapun.
Universalisme Islam juga memiliki makna bahwa Islam telah memberikan dasar-dasar yang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Namun demikian, tidak semua ajaran yang sifatnya universal itu diformulasikan secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk menginterpretasikannya agar sesuai dengan segala tuntutan perkembangan sehingga konsep universalitas Islam yang mencakup semua bidang kehidupan dan semua jaman dapat diwujudkan, atau diperlukan upaya rasionalisasi ajaran Islam.
Senada dengan hal di atas, Din Syamsudin mengatakan bahwa watak universalisme Islam meniscayakan adanya pemahaman selalu baru untuk menyikapi perkembangan kehidupan manusia yang selalu berubah. Islam yang universal-shalih li kulli zaman wa makan-menuntut aktualisasi nilai-nilai Islam dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari upaya menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat jaman. Hakikat Islam yang rahmah li al-‘alamin berhubungan secara simbiotik dengan semangat jaman, yaitu kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa pencapaian cita-cita kerahma-tan dan kesemestaan sangat tergantung kepada penemuan-penemuan baru akan metode dan teknik untuk mendorong kehidupan yang lebih baik dan lebih maju. Din Samsudin mengatakan bahwa keuniversalan mengandung muatan kemodernan. Islam menjadi universal justru karena mampu menampilkan ide dan lembaga modern serta menawarkan etika modernisasi.
2.    Keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai seorang rasul Allah. Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa Islam adalah agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang berarti pasca Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama yang diturunkan sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab yang lengkap, sempurna, dan mencakup segala-galanya; tidak ada satupun persoalan yang terlupakan dalam al-Qur’an. Keyakinan yang sama juga terhadap keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi akhir jaman (khatam al-anbiya’), yang tidak akan lahir (diutus) lagi seorang pun Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan risalah yang dibawa Muhammad diyakini sebagai risalah yang lengkap dan sempurna.
Menurut Achmad Jainuri bahwa keyakinan akan Muhammad sebagai Nabi penutup hendaknya dipahami bahwa berhentinya fungsi kenabian bukan berarti terputusnya petunjuk Tuhan kepada umat manusia. Kondisi ini mengacu pada ide bahwa setelah fungsi keNabian Muhammad selesai, secara fungsional, peran ulama dipandang sangat penting untuk memelihara dinamika ajaran Islam. Hal ini dipandang tidaklah berlebihan karena ulama adalah pewaris para nabi (al’ulama’ waratsah al-anbiya’). Dari kalangan ulama itulah muncul para mujaddid yang secara fungsional memelihara dinamika ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw sebagai pengemban risalah terakhir dari Tuhan. Dengan perkataan lain bahwa kontinuitas petunjuk agama Wahyu dari Nabi Adam hingga Muhammad melalui para Nabi, sedangkan dari Muhammad ke penerusnya melalui para mujaddid yang secara institusional dimanifestasikan dalam berbagai ragam pemikiran serta gerakan tajdid.
Landasan Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang diperoleh dari teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis. Banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan pijakan bagi pelak-sanaan tajdid dalam Islam karena secara jelas mengandung muatan bagi keharusan melakukan pembaruan. Di antaranya surat al-Dluha: 4. “Sesungguhnya yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang dahulu”, Ayat lainnya adalah surat ar-Ra’d: 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sehingga mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri….”
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari situasi rendah menjadi mulia dan terhormat, umat Islam sendiri harus berinisiatif dan berikhtiar mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya maupun perilakunya. Dengan demikian, maka kekuatan-kekuatan pembaru dalam masyarakat harus selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat melakukan mekanisme penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.
Sementara itu, dalam hadis Nabi dapat kita temukan adanya teks hadis yang menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan memperbarui (pema-haman) agamanya”. Menurut Achmad Jainuri, dikalangan para pakar terdapat perbedaan interpretasi mengenai kata ‘ala ra’si kulli mi’ati sanah (setiap awal abad) ini berkaitan dengan saat munculnya sang mujaddid. Sebagian lain mengkaitkan dengan tanggal kematian. Hal ini sesuai dengan tradisi penulisan biografi dalam Islam yang biasanya hanya menunjuk tanggal kematian seseorang. Jika arti kata tersebut dikaitkan dengan tanggal kelahiran, maka sulit dipahami karena sebagian mereka yang disebutkan dalam daftar literatur sejarah Islam telah meninggal dunia pada awal abad, yang berarti bahwa mereka belum melakukan pembaruan. Atas dasar ini, maka sebagian lagi memahami dalam pengertian yang lebih longgar dan menyatakan bahwa yang penting mujaddid yang bersangkutan hidup dalam abad yang dimaksud. Terlepas dari adanya perdebatan sebagaimana di atas (dalam memaknai awal abad), yang jelas bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki landasan normatif dalam teks hadis Nabi.
Landasan Historis
Di awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih ada dan pengikutnya masih terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan Madinah, Islam diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya berkata: “sami’na wa atha’na”. Dalam perkembangannya, Islam baik secara etnografis maupun geografis menyebar luas, dari segi intelektual pun membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia yang cemerlang, sampai mencapai puncaknya di abad XII-XIII M, di masa inilah, ilmu pengetahuan ke-Islaman berkembang sampai puncaknya, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang non agama. Di jaman itu pula para pemikir muslim dihasilkan. Mereka telah bekerja sekuat-kuatnya melakukan ijtihad sehingga terbina apa yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan Islam.
Setelah melalui kurun waktu lebih kurang lima abad sampai ke puncak kejayaannya, sejarah kemajuan Islam mengalami kemandekan; Islam menjadi statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Masa demi masa kemundurannya semakin terasa. Pintu ijtihad dinyatakan tertutup digantikan dengan taklid yang merajalela sampai menenggelamkan umat Islam ke lubuk yang terdalam pada abad ke XVIII. Meskipun demikian, upaya pembaruan senantiasa terjadi, di mana dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu sejak abad XIII M (peralihan ke abad XIV M) Ibn Taimiyah telah tampil membendung-nya (melakukan pembaruan).
Pembaruan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan kepada tiga sasaran utama yaitu, sufisme, filosof yang mendewakan rasionalisme, teologi asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik. Ketiganya dipandang sebagai menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam memberikan kritik selalu dibarengi seruan kepada umat Islam agar kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah serta memahaminya. Dalam perkembangan sejarahnya bahwa gerakan pembaruan pasca Ibnu Taimiyah terus mengalami dinamisasi, dan kontinuitasnya, serta mengalami beberapa variasi corak dan penekanannya masing-masing sesuai dengan konteks waktu, tempat, dan problem yang dihadapi. Gerakan-gerakan pembaruan itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gerakan pembaharuan pra-modern dan gerakan pembaharuan pada masa modern.
Gerakan pembaharuan pra-modern (pasca Ibnu Taimiyah), mengambil bentuknya terutama pada abad XVII dan XVIII M. Sementara itu, gerakan modern terutama dimulai pada saat jatuhnya Mesir di tangan Napoleon Bonaparte (1798-1801 M), yang kemudian menginsafkan umat Islam tentang rendahnya kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya, serta memunculkan kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan.
Walaupun gerakan pembaruan Islam secara garis besarnya terbagi dalam dua batasan dekade yaitu pra-modern (abad XVII dan XVIII M) dan modern (mulai abad XIX M), tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa gerakan pembaruan yang dilancarkan pada abad tersebut pada dasarnya menunjukkan karakteristik yang sama dengan gagasan pokok Ibnu Taimiyah yang dipandang sebagai bapak tajdid, yaitu gerakan-gerakan pembaruan tersebut mengedepankan rekontruksi sosio-moral masyarakat Islam sekaligus melakukan koreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan mengabaikan masyarakat.
Adanya karakteristik yang sama pada gerakan-gerakan pembaruan Islam, baik pra-modern maupun modern tersebut, dapat dilihat misalnya pada abad XVII M. Syaikh Ahmad Sirhindi telah meletakan dasar teori reformasi yang sama dengan Ibnu Taimiyah, juga menekankan pelaksanaan ajaran syariah dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian gerakan wahabiah pada abad XVIII M yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab dipandang lebih radikal dan tidak mengenal kompromi terhadap semua pengaruh yang “non Islam” terhadap amal ibadah. Gerakan-gerakan serupa juga muncul di kawasan dunia Islam lainnya. Shah Waliyullah di India abad XVIII M, juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad dalam sikapnya terhadap ajaran sufi yang menyimpang. Namun, yang membedakannya dengan pendahulunya, gerakan Shah Waliyullah juga memasuki dunia kehidupan sosial politik, di mana ia menentang ketidakadilan sosial ekonomi yang menimpa rakyat, mengkritik beban pajak yang ditanggung oleh kaum petani, serta menyerukan kaum muslimin untuk menegakkan sebuah negara teritorial di India yang menyatu ke dalam bentuk sebuah kekaisaran yang bersifat internasional.
Gerakan pembaruan pra-modern dengan dasar “kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijtihad” sebagaimana di atas, juga me-warnai gerakan pembaruan pada era modern (abad XIX dan XX M). Sebagai misal, gerakan pembaruan yang digerakkan dan dicetuskan oleh Muhammad Abduh, yang dirumuskan dalam empat aspek yaitu: pertama, pemurnian Islam dari berbagai pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan khufarat); kedua, pembaruan sistem pendidikan tinggi Islam; ketiga, perumusan kembali doktrin Islam sejalan dengan semangat pemikiran modern; keempat, pembelaan Islam terhadap pengaruh-pengaruh dan serangan-serangan Eropa.
Apa yang dilakukan oleh Abduh di atas, menunjukan adanya karakteristik yang sama dengan era sebelumnya, yaitu adanya purifikasionis-reformis. Apa yang dilakukan Abduh hanya sebagai salah satu contoh, tentunya dapat ditemukan juga dalam gerakan dan pemikiran yang dilakukan oleh tokoh lainnya.
Berkaitan dengan kesinambungan karakteristik gerakan pem-baruan Islam baik pra-modern dan modern, menurut Voll dapat terlihat pula pada tiga bidang atau tema yang digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk kembali kepada penerapan ketat al-Qur’an dan Sunnah Nabi; kedua, keharusan adanya ijtihad; ketiga, penegasan kembali keaslian dan keunikan pengalaman Qur’an yang berbeda dengan cara-cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam lainnya.
Uraian di atas menunjukan bahwa ide pembaruan Islam yang berlandaskan teologis dan normatif, secara historis menunjukkan relevansi dengan kedua landasan tersebut (teologis dan normatif). Oleh karenanya, gerakan tajdid (pembaruan Islam) memiliki akar historis yang kuat sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar