Senin, 16 Desember 2013

Gerakan Pembaharuan Islam oleh Jamaluddin Al-Afghani (1838/1839-1897)


Nama panjang beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Meskipun lahir di Afghanistan, ia berasal dari keluarga Syi’ah Iran. Namun, tidak ada bukti yang menguatkan bahwa ia mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Syi’ah. Pendidikan dasarnya diperoleh di tanah kelahirannya, yakni Asadabad. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di kota-kota suci kaum Syi’ah pada 1805. Di sinilah ia banyak dipengaruhi para filosof rasionalis Islam seperti Ibnu Sina dan Nasir al-Din al-Tusi.
Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempela­jari bahasa Arab, sejarah, matematika, fil­safat, fiqih dan ilmu keislaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil jenius yang penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia.
Setelah membekali dirinya dengan seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis), Al-Afghani mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke India, negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya. Kebencian kepada kolonialisme yang telah membara dalam dadanya makin berkecamuk ketika Afghani menyaksikan India yang berada dalam tekanan Inggris. Perlawanan terjadi di seluruh India. Afghani turut ambil bagian dari periode yang genting ini, dengan bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857. Namun, Afghani masih sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sepulang dari haji, Afghani pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost Muhammad, yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Saat itu, Dost Muhammad sedang mempertahankan kekuasaannya dengan memanfaatkan kaum cendekiawan yang didukung rakyat Afghanistan. Sayang, ketika akhirnya Dost terbunuh dan takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, Afghani diusir dari Kabul.
Perjalanan hidup Jamaluddin sebenarnya lebih mirip seorang politik dari pada pembaharu Islam (L. Stoddard, 1921: 21). Hal ini terbukti dari aktivitas yang ia lakukan. Pada umur 22 tahun ia menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Pada 1864 ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad Azam Khan.
Meninggalkan Kabul, Afghani berkelana ke Hijjaz untuk melakukan ziarah. Rupanya, efek pengusiran oleh Sher Ali berdampak bagi perjalanan Afghani. Ia tidak diperbolehkan melewati jalur Hijjaz melalui Persia. Ia harus lebih dulu masuk ke India. Pada tahun 1869 Afghani masuk ke India untuk yang kedua kalinya. Ia disambut baik oleh pemerintah India, tetapi tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pemimpin India berpengaruh yang berperan dalam revolusi India. Khawatir pengaruh Afghani akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah kolonial, pemerintah India mengusir Afghani dengan cara mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang bergolak.
Jamaluddin pernah tinggal di India meskipun tidak lama. Setelah itu   menetap di Mesir dari 1871 hingga l879 dengan bantuan dana Riyad Pasha. Di kota ini, ia menghabiskan waktunya untuk mengajar dan memperkenalkan  penafsiran filsafat Islam. Ketika Mesir berada dalam krisis politik dan keuangan pada akhir 1870, tokoh ini mendorong para pengikutnya untuk menerbitkan surat kabar politik. Ia banyak memberikan ceramah dan melakukan aktivitas politik sebagai pemimpin gerakan bawah tanah. Para pengikutnya antara lain Muhammad Abduh, Abdullah Nadim, Sa’ad Zaghlul, dan Ya’kub Sannu. Pada 1889 ia membentuk partai Hizbul Wathani dan berhasil menggulingkan Raja Mesir Khedewi Ismail, meskipun kemudian ia diusir oleh penguasa baru Tawfik (Harun Nasution,  1975: 54-55).
Kemudian, Jamaluddin pergi ke Paris dan bersama-sama muridnya yang bernama  Muhammad Abduh, menerbitkan majalah al-‘Urwah al Wutsqa. Pada tahun 1884 pergi ke Inggris untuk berunding dengan Sir Henry Drummond Wolff tentang masalah Mesir. Dua tahun kemudian, pergi ke Iran untuk membantu penyelesaian sengketa Rusia dan Iran. Akhirnya diusir keluar Iran oleh penguasa Syah Nasir al-Din karena perbedaan faham.
Sultan Ottoman Abdul Hamid II mengundang Jamaluddin ke Istambul untuk membantu pelaksanaan politik Islam yang direncanakan Istambul. Pengaruh Jamaluddin yang cukup besar, membuat Abdul Hamid khawatir jika posisinya akan terongrong. Selanjutnya Abdul Hamid mengeluarkan kebijakan untuk membatasi aktivitas politik Jamaluddin. Di kota inilah Jamaluddin tinggal hingga akhir hayatnya,  meninggal pada 1897 karena penyakit kanker.
Meskipun karirnya lebih menggambarkan sebagai tokoh politik, Jamaluddin al-Afghani telah berjasa memberikan kontribusi bagi pembaharuan Islam modern. Pengalamannya berkelana ke Negara-negara Barat, membawa pada suatu  kesimpulan bahwa dunia Islam dalam keadaan mundur, sementara Barat mengalami kemajuan. Ini mendorongnya untuk melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Pemikiran pembaharuannya didasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Jika ada pertentangan, perlu dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interpretasi baru terhadap ajaran Islam. Kemunduran umat Islam, menurutnya, disebabkan karena mereka statis, taqlîd dan fatalis. Umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya, al-Islâm mahjûbun bi al-Muslim. Umat Islam juga terbelakang dari segi pendidikan dan kurang pengetahuan mengenai dasar-dasar ajarannya, serta lemah rasa persaudaraan akibat perpecahan internal.
Untuk mengatasi keterbelakangan dan kemunduran tersebut, Jamaluddin mengemukakan dan memperjuangkan gagasan pembaharuannya meliputi: pertama, dari sudut pandang Islam tradisional, Jamaluddin mengemukakan pentingnya kepercayaan pada akal dan hukum alam, yang tidak bertentangan dengan kepercayaan pada Tuhan. Jamaluddin mengajarkan hal yang dibela oleh para filosof, mendakwahkan agama dan rasionalisme kepada massa, serta hukum alam pada para elite Muslim. Ia berusaha mengelaborasi interpretasi Islam modernis dan pragmatis (Nikki R. Keddie, 1995: 25-27).
Kedua, Jamaluddin berhasil mendukung kebangkitan nasionalisme di Mesir dan India. Lebih luas dari itu,  juga menawarkan gagasan dan gerakan Pan-Islam sebagai anti-imperialisme dan mempertahankan kemerdekaan Negara-negara Muslim. Pan-Islam dalam pengertian kesatuan politik atau lebih umum kesatuan Negara-negara Gerakan Muslim tersebut, semakin menguat dan mampu menggalang solidaritas Muslim untuk menentang Kristen dan penjajah Barat. Dikombinasikan dengan aktivitas anti-Inggris inilah yang membuat Jamaluddin semakin populer di dunia Islam saat itu. Maka jasanya adalah  memberikan kontribusi pemikiran Islam modern khususnya berkenaan dengan politik (Nikki R. Keddie, 1995: 25-27).
Ketiga, Jamaluddin menyatakan ide tentang persamaan antara pria dan wanita dalam beberapa hal. Wanita dan pria sama kedudukannya, keduanya mempunyai akal untuk berpikir. Tidak ada halangan bagi wanita untuk bekerja di luar rumah, jika situasi menuntut semacam itu. Dengan demikian, Jamaluddin menginginkan agar wanita juga meraih kemajuan dan bekerjasama dengan pria untuk mewujudkan umat Islam yang maju dan dinamis ( Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993: 300). 
Afghani menghabiskan sisa umurnya dengan bertualang keliling Eropa untuk berdakwah. Bapak pembaharu Islam ini memang tak memiliki rintangan bahasa karena ia menguasai enam bahasa dunia (Arab, Inggris, Perancis, Turki, Persia, dan Rusia). Afghani menghembuskan nafasnya yang terakhir karena kanker yang dideritanya sejak tahun 1896. Beliau pulang keharibaan Allah pada tanggal 9 Maret 1897 di Istambul Turki dan dikubur di sana. Jasadnya dipindahkan ke Afghanistan pada tahun 1944. Ustad Abu Rayyah dalam bukunya “Al-Afghani : Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya”, menyatakan bahwa Al-Afghani meninggal akibat diracun dan ada pendapat kedua yang menyatakan bahwa ada rencana Sultan untuk membinasakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar