Nama panjang beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al
Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1254 H/1838
M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang
nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang
masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina
Husain bin Ali bin Abi Thalib. Meskipun
lahir di Afghanistan, ia berasal dari keluarga Syi’ah Iran. Namun, tidak ada
bukti yang menguatkan bahwa ia mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Syi’ah.
Pendidikan dasarnya diperoleh di tanah kelahirannya, yakni Asadabad. Kemudian
ia melanjutkan pendidikan di kota-kota suci kaum Syi’ah pada 1805. Di sinilah
ia banyak dipengaruhi para filosof rasionalis Islam seperti Ibnu Sina dan Nasir
al-Din al-Tusi.
Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan
kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempelajari bahasa Arab,
sejarah, matematika, filsafat, fiqih dan ilmu keislaman lainnya. Dan pada
usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan
meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan
metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil jenius yang penguasaannya
terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia.
Setelah membekali dirinya dengan seluruh cabang ilmu
pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis), Al-Afghani
mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke India,
negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya. Kebencian
kepada kolonialisme yang telah membara dalam dadanya makin berkecamuk ketika
Afghani menyaksikan India yang berada dalam tekanan Inggris. Perlawanan terjadi
di seluruh India. Afghani turut ambil bagian dari periode yang genting ini,
dengan bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857. Namun,
Afghani masih sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sepulang dari haji, Afghani pergi ke Kabul. Di kota
ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost Muhammad, yang kemudian
menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Saat itu, Dost Muhammad
sedang mempertahankan kekuasaannya dengan memanfaatkan kaum cendekiawan yang
didukung rakyat Afghanistan. Sayang, ketika akhirnya Dost terbunuh dan
takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, Afghani diusir dari Kabul.
Perjalanan hidup Jamaluddin
sebenarnya lebih mirip seorang politik dari pada pembaharu Islam (L. Stoddard,
1921: 21). Hal ini terbukti dari aktivitas yang ia lakukan. Pada umur 22 tahun
ia menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Pada 1864 ia
menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian diangkat menjadi
perdana menteri oleh Muhammad Azam Khan.
Meninggalkan Kabul,
Afghani berkelana ke Hijjaz untuk melakukan ziarah. Rupanya, efek pengusiran
oleh Sher Ali berdampak bagi perjalanan Afghani. Ia tidak diperbolehkan melewati
jalur Hijjaz melalui Persia. Ia harus lebih dulu masuk ke India. Pada tahun
1869 Afghani masuk ke India untuk yang kedua kalinya. Ia disambut baik oleh
pemerintah India, tetapi tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pemimpin
India berpengaruh yang berperan dalam revolusi India. Khawatir pengaruh Afghani
akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah kolonial, pemerintah
India mengusir Afghani dengan cara mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang
bergolak.
Jamaluddin pernah tinggal di
India meskipun tidak lama. Setelah itu menetap di Mesir dari 1871
hingga l879 dengan bantuan dana Riyad Pasha. Di kota ini, ia menghabiskan
waktunya untuk mengajar dan memperkenalkan penafsiran filsafat Islam.
Ketika Mesir berada dalam krisis politik dan keuangan pada akhir 1870, tokoh
ini mendorong para pengikutnya untuk menerbitkan surat kabar politik. Ia banyak
memberikan ceramah dan melakukan aktivitas politik sebagai pemimpin gerakan
bawah tanah. Para pengikutnya antara lain Muhammad Abduh, Abdullah Nadim, Sa’ad
Zaghlul, dan Ya’kub Sannu. Pada 1889 ia membentuk partai Hizbul Wathani dan
berhasil menggulingkan Raja Mesir Khedewi Ismail, meskipun kemudian ia diusir
oleh penguasa baru Tawfik (Harun Nasution, 1975: 54-55).
Kemudian, Jamaluddin pergi
ke Paris dan bersama-sama muridnya yang bernama Muhammad Abduh,
menerbitkan majalah al-‘Urwah al Wutsqa. Pada tahun 1884 pergi ke
Inggris untuk berunding dengan Sir Henry Drummond Wolff tentang masalah Mesir.
Dua tahun kemudian, pergi ke Iran untuk membantu penyelesaian sengketa Rusia
dan Iran. Akhirnya diusir keluar Iran oleh penguasa Syah Nasir al-Din karena
perbedaan faham.
Sultan Ottoman Abdul Hamid
II mengundang Jamaluddin ke Istambul untuk membantu pelaksanaan politik Islam
yang direncanakan Istambul. Pengaruh Jamaluddin yang cukup besar, membuat Abdul
Hamid khawatir jika posisinya akan terongrong. Selanjutnya Abdul Hamid
mengeluarkan kebijakan untuk membatasi aktivitas politik Jamaluddin. Di kota
inilah Jamaluddin tinggal hingga akhir hayatnya, meninggal pada 1897
karena penyakit kanker.
Meskipun karirnya lebih
menggambarkan sebagai tokoh politik, Jamaluddin al-Afghani telah berjasa
memberikan kontribusi bagi pembaharuan Islam modern. Pengalamannya berkelana ke
Negara-negara Barat, membawa pada suatu kesimpulan bahwa dunia Islam
dalam keadaan mundur, sementara Barat mengalami kemajuan. Ini mendorongnya
untuk melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Pemikiran pembaharuannya didasarkan
pada keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, zaman,
dan keadaan. Jika ada pertentangan, perlu dilakukan penyesuaian dengan
mengadakan interpretasi baru terhadap ajaran Islam. Kemunduran umat Islam,
menurutnya, disebabkan karena mereka statis, taqlîd dan fatalis. Umat
Islam telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya, al-Islâm mahjûbun bi
al-Muslim. Umat Islam juga terbelakang dari segi pendidikan dan kurang
pengetahuan mengenai dasar-dasar ajarannya, serta lemah rasa persaudaraan
akibat perpecahan internal.
Untuk mengatasi
keterbelakangan dan kemunduran tersebut, Jamaluddin mengemukakan dan
memperjuangkan gagasan pembaharuannya meliputi: pertama, dari sudut
pandang Islam tradisional, Jamaluddin mengemukakan pentingnya kepercayaan pada
akal dan hukum alam, yang tidak bertentangan dengan kepercayaan pada Tuhan.
Jamaluddin mengajarkan hal yang dibela oleh para filosof, mendakwahkan agama
dan rasionalisme kepada massa, serta hukum alam pada para elite Muslim. Ia
berusaha mengelaborasi interpretasi Islam modernis dan pragmatis (Nikki R.
Keddie, 1995: 25-27).
Kedua, Jamaluddin berhasil mendukung kebangkitan
nasionalisme di Mesir dan India. Lebih luas dari itu, juga menawarkan
gagasan dan gerakan Pan-Islam sebagai anti-imperialisme dan mempertahankan
kemerdekaan Negara-negara Muslim. Pan-Islam dalam pengertian kesatuan politik
atau lebih umum kesatuan Negara-negara Gerakan Muslim tersebut, semakin menguat
dan mampu menggalang solidaritas Muslim untuk menentang Kristen dan penjajah
Barat. Dikombinasikan dengan aktivitas anti-Inggris inilah yang membuat
Jamaluddin semakin populer di dunia Islam saat itu. Maka jasanya adalah
memberikan kontribusi pemikiran Islam modern khususnya berkenaan dengan politik
(Nikki R. Keddie, 1995: 25-27).
Ketiga, Jamaluddin menyatakan ide tentang persamaan antara
pria dan wanita dalam beberapa hal. Wanita dan pria sama kedudukannya, keduanya
mempunyai akal untuk berpikir. Tidak ada halangan bagi wanita untuk bekerja di
luar rumah, jika situasi menuntut semacam itu. Dengan demikian, Jamaluddin
menginginkan agar wanita juga meraih kemajuan dan bekerjasama dengan pria untuk
mewujudkan umat Islam yang maju dan dinamis ( Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
1993: 300).
Afghani menghabiskan sisa umurnya dengan
bertualang keliling Eropa untuk berdakwah. Bapak pembaharu Islam ini memang tak
memiliki rintangan bahasa karena ia menguasai enam bahasa dunia (Arab, Inggris,
Perancis, Turki, Persia, dan Rusia). Afghani menghembuskan nafasnya yang terakhir
karena kanker yang dideritanya sejak tahun 1896. Beliau pulang keharibaan Allah
pada tanggal 9 Maret 1897 di Istambul Turki dan dikubur di sana. Jasadnya
dipindahkan ke Afghanistan pada tahun 1944. Ustad Abu Rayyah dalam bukunya “Al-Afghani
: Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya”, menyatakan bahwa Al-Afghani
meninggal akibat diracun dan ada pendapat kedua yang menyatakan bahwa ada
rencana Sultan untuk membinasakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar