BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Bank syariah di Indonesia terhitung
masih sangat muda, perkembangannya juga begitu lambat. Pembahasan tentang Bank
Syariah sudah pernah dibahas pada era tahun 1980-an, namun realisasinya terjadi
pada tahun 1992 yang dilakukan oleh salah satu bank pemerintah, yaitu Bank
Muamalat Indonesia dengan hukum yang jelas. Pada awalnya perkembangan bank di
Indonesia masih lemah dan bersifat konvensional dalam artian belum memiliki
standar dari bank syariah sendiri, karena bank syariah berbasis ideologi Islam
sedangkan bank konvensional berdasarkan ideologi barat terutama ideologi
Amerika dan Eropa.
Perkembangan perbankan
syariah di Indonesia merupakan suatu perwujudan dari permintaan masyarakat yang
membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa
perbankan atau keuangan yang sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah.
Perkembangan industri keuangan syariah secara informal telah dimulai sebelum
dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan
syariah di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan
hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan
sesuai dengan syariah.
Industri perbankan syariah
berkembang lebih cepat setelah dikeluarkan dan diberlakukannya perangkat
perundang-undangan. Terlebih lagi setelah dikeluarkannya undang-undang pada
tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dimana undang-undang ini dikeluarkan guna
menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan
keyakinan kepada masyarakat terhadap perbankan syari’ah.
Sehubungan dengan hal
tersebut, pengaturan tersendiri bagi Perbankan Syariah merupakan hal yang
mendesak untuk dilakukan, guna menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip syariah,
prinsip kesehatan bank bagi bank syariah dan yang tidak kalah penting
diharapkan yaitu dapat memobilisasi dana dari negara lain yang mensyaratkan
pengaturan terhadap bank syariah dalam undang-undang tersendiri.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
perbedaan bank syariah dengan bank konvensional?
2. Sebutkan
kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank syariah?
3. Apa
prinsip kegiatan usaha dari bank syariah?
4. Darimanakah
sumber dana bank syariah?
5. Bagaimana
perkembangan dan prospek bank syariah di Indonesia?
6. Bagaimana
bentuk laporan keuangan bank syariah?
7. Bagaimana
sistem pembiayaan dalam bank syariah?
1.3
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui perbedaan bank syariah dengan bank konvensional.
2. Untuk
mengetahui kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank syariah.
3. Untuk
mengetahui prinsip kegiatan usaha dari bank syariah.
4. Untuk
mengetahui sumber dana bank syariah.
5. Untuk
mengetahui perkembangan dan prospek bank syariah di Indonesia.
6. Untuk
mengetahui bentuk laporan keuangan bank syariah.
7. Untuk
mengetahui sistem pembiayaan dalam bank syariah.
1.4
Manfaat
Penulisan
1. Memahami
perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional.
2. Memahami
kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank syariah.
3. Memahami
prinsip kegiatan usaha dari bank syariah.
4. Memahami
sumber dana bank syariah.
5. Memahami
perkembangan dan prospek bank syariah di Indonesia.
6. Memahami
bentuk laporan keuangan bank syariah.
7. Memahami
sistem pembiayaan dalam bank syariah.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1
Definisi
Bank Syariah
Menurut UU No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, bank syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank
Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Umum Syariah adalah Bank
Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Bank syariah adalah Bank yang
beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank islam atau biasa disebut
bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan perbankan yang operasional produknya
dikembangkan berlandaskan pada Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW. (Muhammad
(2005 : 1)).
Menurut
Harahap, Wiroso dan Yusuf (2010 : 5), bank syariah adalah Bank yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas
Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Dengan kata lain bank
syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan
jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran yang pengoperasiannya
disesuaikan dengan prinsip-prisnip syariat islam dan tidak mengandalkan pada
bunga.
2.2
Dasar
Hukum
UU Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan
atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan pasal 1 ayat 3 menetapkan bahwa
salah satu bentuk usaha bank adalah menyediakan pembiayaan dan atau melakukan
kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
memuan antara lain:
a. Ketentuan
usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsip syariah.
b. Pembentukan
dan tugas dewan pengawas syariah.
c. Persyaratan
bagi pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Pasal
ini merupakan revisi terhadap masalah yang sama pada UU Nomor 7 tahun 1992
tentang perbankan pasal 6 huruf m yang menetapkan bahwa salah satu bentuk usaha
bank umum adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi
hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
Perubahan tersebut pada dasarnya menyangkut 3 hal, yaitu:
a. Istilah
prinsip bagi hasil diganti dengan prinsip syariah meskipun esensinya tidak
berbeda.
b. Ketentuan
rinci semula ditetapkan dengan peraturan pemerintah kemudian diganti dengan
ketentuan Bank Indonesia.
c. UU
yang lama hanya menyediakan prinsip bagi hasildalam hal penyediaan dana saja,
sedangkan UU yang baru menyebutkan prinsip bagi hasil dalam hal penyediaan dana
dan juga dalam kegiatan lain yang dapat diterjemahkan dalam banyak hal yang
mencakup penghimpunan dan penggunaan dana.
Secara umum dengan adanya UU Nomor 10
tahun 1998 tersebut, posisi bank bagi hasil/bank berdasar prinsip syariah
secara tegas telah diakui oleh Undang-Undang dan memiliki landasan hukum yang
kuat.
2.3
Prinsip
Bank Syariah
Menurut Gunadarma (2010), prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang sesuai dengan syariah.
Menurut Sofyan, Wiroso dan Yusuf
(2010:6), dalam undang-undang perbankan syariah nomor 21 tahun 2008 tentang
perbankan syariah, prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Pada dasarnya prinsip bank syariah
menghendaki semua dana yang diperoleh dalam sistem perbankan syariah dikelola
dengan integritas tinggi dan sangat hati-hati. Prinsip syariah pada dasarnya
sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh nabi, yaitu:
1. Shiddiq,
memastikan bahwa pengelolaan bank syariah dilakukan dengan moralitas yang
menjunjung tinggi nilai kejujuran. Dengan nilai ini pengelolaan diperkenankan
(halal) serta menjauhi cara-cara yang meragukan (subhat) terlebih lagi yang
bersifat dilarang (haram).
2. Tabligh,
secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat
mengenai prinsip-prinsip, produk dan jasa perbankan syariah. Dalam melakukan
sosialisasi sebaiknya tidak hanya mengedepankan pemenuhan prinsip syariah
semata, tetapi juga harus mampu mengedukasi masyarakat mengenai manfaat bagi
pengguna jasa perbankan syariah.
3. Amanah,
menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam mengelola dana
yang diperoleh dari pemilik dana (shahibul maal) sehingga timbul rasa saling
percaya antara pemilik dana dan pihak pengelola dana investasi (mudharib).
4. Fathanah,
memastikan bahwa pegelolaan bank dilakukan secara profesional dan kompetitif
sehingga menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat resiko yang ditetapkan
oleh bank. Termasuk di dalamnya adalah pelayanan yang penuh dengan kecermatn
dan kesantunan (ri’ayah) serta penuh rasa tanggung jawab (mas’uliyah).
Beberapa
Prinsip atau hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah di Indonesia saat
ini antara lain:
· Pembayaran
terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai
ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
· Pemberi
dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha
institusi yang meminjam dana.
· Islam
tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media
pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai.
· Unsur
Gharar (ketidakpastian/spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus
mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
· Investasi
hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan pada Islam. Usaha
minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Schaik (2001) mengemukakan bahwa
terdapat tujuh prinsip ekonomi Islam yang menjiwai bank syariah, yaitu:
1.
Keadilan,
kesamaan dan solidaritas.
2.
Larangan
terhadap objek dan makhluk.
3.
Pengakuan
kekayaan intelektual.
4.
Harta
sebaiknya digunakan dengan rasional dan baik (fair way).
5.
Tidak
ada pendapatan tanpa usaha dan kewajiban.
6.
Kondisi
umum dari kredit.
7.
Dualiti
risiko.
2.4
Tujuan
dan Fungsi Bank Syariah
Tujuan Bank Syariah
Bank syariah adalah bank yang
aktivitasnya meninggalkan masalah riba. Dengan demikian, penghindaran bunga
yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia Islam
dewasa ini. Suatu hal yang sangat menggembirakan bahwa belakangan ini para
ekonom Muslim telah mencurahkan perhatian besar, guna menemukan cara untuk
menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankan dan membangun model teori
ekonomi yang bebas dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi, alokasi dan
distribusi pendapatan. Oleh karena itu, maka mekanisme perbankan bebas bunga
yang biasa disebut dengan bank syariah. Tujuan perbankan syariah didirikan
dikarenakan pengambilan riba dalam transaksi keuangan maupun non keuangan (QS.
Al-Baqarah 2 : 275). Dalam sistem bunga, bank tidak akan tertarik dalam
kemitraan usaha kecuali bila ada jaminan kepastian pengembalian modal dan
pendapatan bunga (Zaenul Arifin, 2002: 39-40).
Fungsi Bank Syariah
·
Intermediary agent (sama seperti
bank konvensional)
·
Fund atau investment manager
·
Penyedia jasa perbankan pada umumnya
(sama seperti bank konvensional) sepanjang tidak melanggar syariah
·
Pengelola fungsi sosial (ZISWA)
·
Alat transmisi kebijakan moneter
(sama seperti bank Konvensional)
2.5
Karakteristik
Bank Syariah
Secara
umum ada beberapa karakteristik yang membedakan antara bank syariah dengan bank
konvensional, antara lain:
1.
Bank syariah tidak
menggunakan sistem bunga.
2.
Tidak digunakan untuk
usaha yang haram.
3.
Menerima zakat, infaq
dan sodaqoh untuk disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan, terdapat 8
golongan dalam Al Qur’an.
Pada point pertama, dalam bank syariah
tidak menggunakan sistem bunga, melainkan menggunakan konsep bagi hasil dimana
jika bank mendapatkan keuntungan maka akan dibagi hasil keuntungan tersebut
dengan para penabung, jika bank rugi maka para penabung pun akan rugi. Bank
syariah juga tidak serta merta meminjamkan sejumlah uangnya kepada masyarakat
secara tunai melainkan dengan prinsip bagi hasil (mudharabah), prinsip
penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli (murabahah) dan prinsip sewa
(ijarah).
Menurut Antonio (2010 : 34)
karakteristik dari bank syariah adalah :
1.
Melakukan
investasi-investasi yang halal saja.
2.
Berdasarkan prinsip
bagi hasil, jual beli atau sewa
3.
Profit dan
falah oriented
4.
Hubungan dengan nasabah
dalam bentuk kemitraan.
5.
Penghimpunan dan
penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perbedaan Bank Syariah
dengan Bank Konvensional
Bank Syariah
·
Islam memandang harta yang dimiliki
oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh,
mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam.
·
Bank syariah mendorong nasabah untuk
mengupayakan pengelolaan harta nasabah (simpanan) sesuai ajaran Islam.
- Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelola bank pada posisi yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan antara nasabah dan bank.
- Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya usaha bank syariah.
- Prinsip bagi hasil :
ú Penentuan
besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untung dan rugi.
ú Besarnya
nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
ú Jumlah
pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
ú Tidak ada
yang meragukan keuntungan bagi hasil.
ú Bagi hasil
tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak
mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah
pihak.
Bank Konvensional
·
Pada bank konvensional, kepentingan
pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang
tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread
yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan
interest difference). Dilain pihak kepentingan pemakai dana (debitor) adalah
memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah). Dengan demikian terhadap
ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang sulit
diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi sebagai lembaga
perantara saja.
- Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang.
- Sistem bunga :
ú Penentuan
suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk
pihak Bank.
ú Besarnya
prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan Penentuan suku
bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak
Bank.
ú Jumlah
pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat
keadaan ekonomi sedang baik.
ú Eksistensi
bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam.
ú Pembayaran
bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan
oleh pihak nasabah untung atau rugi.
3.2 Kegiatan Usaha Bank
Syariah
Menurut Zulkifli (2007:61), Secara
umum, keseluruhan transaksi di perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga
bagian besar, yakni :
a.
Produk pembiayaan.
Produk-produk yang tergabung disini adalah produk yang bertujuan utnuk
membiayai kebutuhan masyarakat.
b.
Produk dana.
Produk-produk yang tergabung disini adalah produk yang bertujuanuntuk
menghimpun dana masyarakat.
c.
Produk jasa.
Produk-produk yang tergabung disini adalah produk yang dibuat untuk melayani
kenbutuhan masyarakat yang berbasis pendapatan tanpa exposue pembiayaan.
Menurut Undang-undang RI No.21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dalam menjalankan usahanya, baik dari
segi penghimpunan dan penyaluran dana, bank syariah mempunyai beberapa prinsip
operasional yaitu :
1.
Penghimpunan Dana :
Dana
yang ditempatkan nasabah di Bank Syariah dalam bentuk Simpanan atau Investasi
berdasarkan Akad antara Bank Syariah dan Nasabah yang bersangkutan.
a.
Simpanan adalah dana
yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan
Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah dalam bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu.
b.
Tabungan adalah
Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang
penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang
disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat
lainnya yang dipersamakan dengan itu.
c.
Deposito adalah
Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan
pada waktu tertentu berdasarkan Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah
dan/atau UUS.
d.
Giro adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro,
sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.
e.
Investasi adalah dana
yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan
Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
dalam bentuk Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu.
2.
Penyaluran Dana
Dalam
Penyaluran dana pada nasabah, secara garis besar pembiayaan bank syariah
terbagi dalam kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu:
a.
Transaksi pembiayaan
yang ditujukan untuk memilih barang yang dilakukan dengan prinsip jual beli.
Prinsip jual beli adalah suatu prinsip yang menerapkan tata cara jual beli.
Dalam prinsip ini, bank mengangkat nasabah sebagai agen untuk melakukan
pembelian barang atas nama bank.
b.
Selanjutnya bank menjual
barang tersebut kepada nasabah lain dengan harga sejumlah harga beli ditambah
keuntungan bagi bank. Prinsip ini bisa disebut dengan sistem mark up yakni
semacam biaya bank yang diperhitungkan secara lum sum dalam bentuk
nominal di atas nilai kredit yang diterima nasabah penerima kredit dari bank.
c.
Transaksi pembiayaan
yang ditujukan untuk usaha kerja sama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus
barang dan jasa dengan prinsip bagi hasil. Prinsip bagi hasil adalah suatu
prinsip yang meliputi tata kerja pembagian hasil usaha antara pemodal dan
pengelola dana, pembagian hasil usaha dapat terjadi antara nasabah dengan bank.
Hasil usaha bank yang dibagikan kepada nasabah penyimpan dana adalah laba usaha
bank yang dihitung selama periode tertentu, sedangkan hasil usaha nasabah
penerima dana yang dibagikan dengan bank adalah laba yang dihasilkan nasabah
penerima dana dari salah satu usahanya yang secara utuh dibiayai oleh bank.
3.3 Prinsip Kegiatan usaha
Bank Syariah
1.
Hiwalah : Akad pemindahan hutang nasabah kepada bankdari nasabah lain
2.
Ijarah : Akad sewa-menyewa barang antara bank dengan penyewa, setelah
masa sewa berakhir barang sewaan dikembalikan.
3.
Ijarah Wa Iqtina : Akad sewa-menyewa antara bank dengan penyewa yang
diikuti janji bahwa pada saat yang ditentukan kepemilikan barang sewaan akan
berpindah kepada penyewa.
4.
Istishna : Akad jual beli barang antara pemesan dengan penerima
pesanan. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati di awal akad dengan
pembayaran dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesepakatan.
5.
Kafalah : Akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak
lain dimana pemberi jaminan bertanggungjawab atas pembayaran kembali suatu
utang yang menjadi hak penerima jaminan.
6.
Mudharabah : Akad antara pihak pemilik modal dengan pengelola untuk
memperoleh pendapatan/keuntungan. Pendapatan/keuntungan tersebut dibagi sesuai
dengan rasio yang disepakati di awal akad. Mudharabah dibagi 2, yaitu :
a.
Mudharabah Mutlaqah : Pengelola diberi kekuasaan penuh untuk mengelola
modal, pengelola tidak dibatasi baik mengenai tempat, tujuan, maupun jenis
usahanya.
b.
Mudharabah Muqayyadah : Pemilik modal menetapkan syarat tertentu yang
harus dipatuhi oleh pengelola baik mengenai tempat, tujuan, maupun jenis
usahanya.
7.
Murabahah : Akad jual beli antara bank dengan nasabah. Bank memberi
barang yang dibutuhkan nasabah sebesar harga pokok ditambahkan dengan
keuntungan yang disepakati.
8.
Musyarakah : Akad kerjasama usaha patungan antara 2 pihak/lebih pemilik
modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif.
Pendapatan/keuntungan dibagi sesuai rasio yang telah disepakati.
9.
Qaradh : Akad pinjaman dari bank kepada pihak tertentu yang wajib
dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Pihak bank dapat meminta
jaminan atas pinjaman kepada peminjam. Pengembalian pinjaman dapat dilakukan
secara angsuran/sekaligus.
10.
Al-qaradh ul Hasan : Akad pinjaman dari bank kepada pihak tertentu
untuk tujuan sosial yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai
pinjaman.
11.
Rahn : Akad penyerahan barang harta nasabah kepada bank sebagai jaminan
sebagian/seluruh utang.
12.
Salam : Akad jual barang pesanan antara pembeli dengan penjual.
Spesifikasi dan harga disepakati di awal dan pembayaran dilakuakan muka secara
penuh.
13.
Sharf : Akad jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya.
14.
Ujr : Imbalan yang diberikan/diminta atas suatu pekerjaan yang
dilakukan.
15.
Wadi’ah : Akad penitipan barang/uang antara penitip dengan bank dengan
tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang.
Berdasarkan jenisnya wadi’ah dibagi 2, yaitu :
a.
Wadi’ah Yad Amanah : Akad penitipan barang/uang dimana penerima tidak
diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak
bertanggungjawab atas kerusakan/kehilangan barang titipan yang bukan
diakibatkan perbuatan/kelalaian penerima titipan.
b.
Wadi’ah Yad Dhamanah : Akad penitipan barang/uang dimana penerima
titipan dengan/tanpa ijin pemilik dapat memanfaatkan titipan dan harus
bertanggung jawab terhadap kehilangan/kerusakan titipan. Semua manfaat dan
keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan titipan tersebut menjadi hak
penerima titipan.
16.
wakalah : Akad pemberian kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa
untuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.
3.4 Sumber Dana Bank
Syariah
Bagi bank
konvensional selain modal, sumber dana lainnya cenderung bertujuan untuk
“menahan” uang. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan Keynes yang
mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan: transaksi,
cadangan(jaga-jaga), dan investasi (John M. Keynes, 1936). Oleh karena itu,
produk penghimpunan dana pun sesuai dengan tiga fungsi tersebut yaitu berupa
giro, tabungan, dan deposito.
Dalam
pandangan syariah uang bukanlah suatu komoditi melainkan hanya sebagai alat
untuk mencapai pertambahan nilai ekonomis (economic added value). Hal ini
bertentangan dengan perbankan berbasis bunga di mana “uang mengembang-biakan
uang”, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau
tidak. Untuk menghasilkan keuntungan, uang harus dikaitkan dengan kegiatan
ekonomi dasar (primary economic activities) baik secara langsung maupun melalui
transaksi perdagangan ataupun secara tidak langsung melalui penyertaan modal
guna melakukan salah satu atau seluruh kegiatan usaha tersebut.
Berdasarkan
prinsip tersebut Bank syariah dapat menarik dana pihak ketiga atau masyarakat
dalam bentuk (Zainul Arifin, Op.cit, 53) :
1. Titipan
(wadiah) simpanan yang dijamin keamanan dan pengembaliannya (guaranteed
deposit) tetapi tanpa memperoleh imbaaln atau keuntungan.
- Partisipasi modal berbagi hasil dan berbagi resiko (non guaranteed account) untuk investasi umum (general investment account/ mudharabah mutlaqah) di mana bank akan membayar bagian keuntungan secara proporsional dengan porofolio yang didanai dengan modal tersebut.
3.
Investasi khusus (spesial investment
account / mudharabah muqayyadah) di mana bank bertindak sebagai manajer
investasi untuk memperoleh fee. Jadi bank tidak ikut berinvestasi sedangkan
investor sepenuhnya mengambil resiko atas investasi.
Dengan demikian sumber dana bank
syariah terdiri dari (Ibid):
·
Modal Inti (core capital)
·
Kuasi ekuitas (mudharabah account)
·
Titipan (wadiah) atau simpanan tanpa
imbalan (non remunerated deposit)
3.5 Perkembangan dan
Prospek Bank Syariah di Indonesia
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah mengatakan
pertumbuhan industri perbankan syariah dapat meningkat hingga 15 persen dalam
lima tahun mendatang. Walaupun pertumbuhan yang saat ini baru mencapai 3,9
persen dari total aset perbankan nasional, banyak kalangan melihat perbankan
syariah nasional akan terus tumbuh mengingat situasi perekonomian Indonesia
saat ini sangat mendukung peningkatan investasi dalam sektor tersebut.
Perjalanan Bank syariah di Indonesia dimulai dengan
didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991 dengan dasar UU No.
7 tahun 1992, walaupun pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil hanya
sepintas diuraikan. Sistem bank syariah baru mulai dilirik sejak terjadinya
krisis ekonomi pada tahun 1998. Ketika itu, Bank Indonesia melakukan uji
kelayakan terhadap semua bank nasional, dan BMI yang baru berumur beberapa
tahun dan sebagai satu-satunya bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah
menempati peringkat ke 43 dari 208 bank yang ada. Sejak itulah banyak bank
konvensional mulai jatuh hati dengan bank syariah dan mulai memberikan dan
menyelenggarakan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi stafnya.
Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk baik dengan mengkonversi bank
konvensionalnya dengan menjadi bank syariah sepenuhnya maupun hanya dengan
membuka divisi atau cabang syariah.
Hingga saat itu perkembangan perbankan syariah di
Indonesia dapat terbilang cukup pesat, apalagi sejak diberlakukannya
Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16
Juli 2008, yang membuat pengembangan industri perbankan syariah nasional
semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya
secara lebih cepat lagi.Untuk mengetahui seberapa besar perkembangan perbankan
syariah selama 5 tahun terakhir, mari kita lihat tabel di bawah ini :
Tabel Total Aset Gabungan Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (milyar rupiah)
|
|
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Jan 2012
|
26.722
36.538
49.555
66.090
97.519
145.467
143.888
|
Menurut data
Bank Indonesia, terdapat 11 Bank Umum Syariah (BUS) yang beroperasi di
Indonesia dengan nilai aset per Januari 2012 adalah sebesar Rp115,3 triliun
tumbuh 46 persen dibandingkan pada Januari 2011 yang senilai Rp78,2 triliun.
Sedangkan aset 24 Unit Usaha Syariah (UUS) per Januari 2012 adalah Rp28,6 triliun tumbuh 63 persen dibandingkan Januari 2011 yang hanya berjumlah Rp17,9 triliun dan aset 155 Bank Perkreditan Rakyat Syariah per Januari 2012 ialah Rp3,61 triliun dibanding posisi Januari 2011 yaitu Rp2,77 triliun sehingga meningkat 30,1 persen.
Sedangkan aset 24 Unit Usaha Syariah (UUS) per Januari 2012 adalah Rp28,6 triliun tumbuh 63 persen dibandingkan Januari 2011 yang hanya berjumlah Rp17,9 triliun dan aset 155 Bank Perkreditan Rakyat Syariah per Januari 2012 ialah Rp3,61 triliun dibanding posisi Januari 2011 yaitu Rp2,77 triliun sehingga meningkat 30,1 persen.
Prospek perbankan syariah terlihat sangat cerah,
apalagi Professor of Banking and Financial Regulation Loughborough
University, Maximilian JB Hall mengatakan industri perbankan syariah dapat
bertahan dari krisis global karena tidak terkait dengan mekanisme pasar dan
tanpa spekulasi. Di tahun 2010 pertumbuhan aset perbankan syariah global
mencapai 8,9 persen dengan total aset sebesar 900 miliar dolar AS. Dengan
mayoritas penduduk Indonesia yang beragama islam, seharusnya, pertumbuhan
perbankan syariah di Indonesia dapat lebih meningkat dan tumbuh secara
signifikan.
Tentu saja masih banyak yang harus disiapkan oleh
semua pihak yang terlibat, instrumen penting dalam perkembangan perbankan
syariah antara lain pemenuhan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia,
peningkatan inovasi produk dan layanan kompetitif serta berbasis kekhususan
untuk kebutuhan masyarakat dan keberlangsungan program sosialisasi serta
edukasi kepada masyarakat. Jika ketiga unsur itu dapat dipenuhi dan didukung
dengan sarana infrastruktur yang memadai untuk mempromosikan program syariah
serta peningkatan instrumen syariah yang terkait, harapannya adalah terwujudnya
iklim dan situasi yang ideal bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
3.6 Bentuk Laporan Keuangan
Bank Syariah
Laporan
keuangan pada sektor perbankan syariah, sama seperti sektor lainnya, adalah
untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta
perubahan posisi keuangan aktifitas operasi bank yang bermanfaat dalam
mengambil keputusan.
Fungsi Laporan Keuangan
Sebagai
bahan informasi yang dapat digunakan oleh pihak-pihak yang membutuhkan, laporan
keuangan setidaknya harus berfungsi sebagai berikut :
1. Menyediakan
informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pengambilan keputusan. Pihak-pihak yang berkepentingan antara lain:
·
sahibul maal/pemilik dana
·
kreditur
·
pembayar zakat, infak, dan sadaqah
·
pemegang saham
·
otoritas pengawasan
·
Bank Indonesia
·
Pemerintah
·
Lembaga penjamin simpanan
·
Masyarakat
2.
Informasi dalam menilai prospek arus
kas bertujuan untuk memberikan informasi yang dapat mendukung investor/pemilik
dana, kreditur, dan pihak-pihak lain dalam memperkirakan jumlah, aset, dan
ketidakpastian dalam penerimaan kas di masa depan atas deviden, bagi hasil,dan
hasil dari penjualan, pelunasan(redemption), dan jatuh tempo dari surat
berharga atau pinjaman.
3.
Informasi atas sumber daya ekonomi
bertujuan memberikan informasi tentang sumber daya ekonomis bank (economic
resources), kewajiban bank untuk mengalihkan sumber daya tersebut kepada
entitas lain atau pemilik saham serta kemungkinan terjadinya transaksi, dan
peristiwa yang dapat mempengaruhi perubahan sumber daya tersebut.
4.
Informasi mengenai kepatuhan bank
terhadap prinsip syariah, serta informasi mengenai pendapatan dan pengeluaran
yang tidak sesuai dengan prinsip syariah dan pegelolaan pendapatan dana bank
tersebut.
5.
Informasi untuk membantu pihak
terkait di dalam menentukan zakat bank atau pihak lainnya.
Acuan Penyusunan Laporan Keuangan
Penyusunan
laporan keuangan bank syariah didasarkan dari beberapa acuan yang relevan,
adapun acuan tersebut adalah :
·
Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia
·
Kerangka Dasar Penyusunan dan
Penyajian Laporan Keuangan Umum, Kerangka Dasar Penyusunan
dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah, Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan Umum, Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan Syariah (PSAKS) dan Interprestasi Standar Akuntansi
Keuangan (ISAK).
·
Accounting and Auditing Standard for
Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan oleh AAOIFI
(Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial
Institutions).
·
International Accounting Standard
(IAS), Statement of Financial Accounting Standard
(SFAS), sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
·
Peraturan perundang-undagan yang
relevan dengan laporan keuangan
·
Praktik-praktik akuntansi yang
berlaku umum, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
3.7 Sistem Pembiayaan dalam
Bank Syariah
Pengertian pembiayaan berdasarkan
Undang-Undang No.7 pasal 1 ayat 12 tahun 1992 adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil.
Pembiayaan berdasarkan
Undang-Undang No.21 pasal 1 ayat 4 tahun 2008 tentang perbankan syariah dapat
berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewamenyewa, transaksi jual beli,
transaksi pinjam meminjam, dan transaksi sewa-menyewa jasa (multi jasa).
Pembiayaan menurut Wiroso (2005:52)
adalah Kegiatan pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen/nasabah dengan
sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen/nasabah. Pembiayaan dalam
sistem syariah mempunyai peranan sebagai manager investasi, wakil atau pemegang
amanat (custodian) dari pemilik dana atas investasi di sektor riil,
sehingga seluruh keberhasilan dan resiko di dunia usaha atau pertumbuhan
ekonomi secara langsung didistribusikan kepada pemilik dana sehingga terjalin
hubungan yang harmonis. Modus ini menghindarkan terjadinya gap antara sumber
dana dengan investasi (saving-investment gap) sehingga menciptakan
landasan pertumbuhan yang kuat. Bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah
tidak dikenal istilah bunga dalam memberikan jasa kepada penyimpan maupun
peminjam, bunga pada perbankan syariah adalah riba dan hal tersebut diharamkan
dalam Islam, seperti yang terdapat dalam QS AL-Baqarah :277-278 :
”Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman,”Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiya.”
Adapun pengertian riba secara
bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain secara
linguisti, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Secara umum ekonom
muslim/ulama menegaskan bahwa riba merupakan pengambilan tambahan yang
harus dibayarkan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam
yang bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan kata lain riba adalah :
“Penambahan, perkembangan,
peningkatan, dan pembesaran yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam pokok
sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama
periode waktu tertentu.”
Dalam ajaran agama Islam tata cara
bermuamalat harus mengikuti perintah dan larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan As-sunnah. Penekanan dalam pelarangan tersebut terutama berkaitan dengan
praktek-praktek yang mengandung dan dapat menimbulkan riba. Pelarangan mengenai
riba ini didasarkan pada firman Allah SWT dan sabda Rasulullah Muhammad SAW
sebagai berikut :
“ Orang-orang yang memakan riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena
gila. Yang demikian itu karena meraka berkata bahwa jual beli sama denga riba.
Padahal Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang
siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang
telah diperolehnya dahulu menjadi
miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah SWT. Barang sipa yang
mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.”
Jenis-jenis
Pembiayaan
Menurut Yusak Laksmana (2009:42),
pembiayaan di bank syariah terbagi atas beberapa jenis berdasarkan bentuk
akadnya. Namun, secara umum ada 3 jenis dasar transaksi pembiayaan di bank
syariah, yaitu :
1.
Pembiayaan Jual-Beli.
Kata
kunci dari pembiayaan jual-beli adalah adanya barang yang diperjual-belikan.
Dalam pembiayaan jual-beli bank bertindak sebagai penjual dan nasabah bertindak
sebagai pembeli. Pembiayaan ini terdiri dari 3 macam, yaitu: murabahah,
salam dan istishna.
2.
Pembiayaan
Sewa-Menyewa.
Pengertian
pembiayaan sewa-menyewa dapat didefinisikan sebagai transaksi terhadap
penggunaan manfaat suatu barang dan jasa dengan pemberian imbalan. Jenis
pembiayaan ini terdiri dari ijarah dan ijarah muntahiyah bitamlik.
3.
Pembiayaan Bagi Hasil.
Dalam
pembiayaan dengan pola bagi hasil, bank dan nasabah akan bekerja sama dalam
suatu usaha, bank sebagai lembaga keuangan akan terlibat dalam permodalan dan
nasabah sebagai pelaku kegiatan ekonomi akan terlibat sebagai pelaksana usaha.
Pembiayaan Bagi Hasil terbagi menjadi dua, yaitu Musyarakah dan Mudharabah.
Namun dalam hal ini penulis hanya membahas mengenai pembiayaan jual-beli
murabahah.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Simpulan
Menurut
UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank syariah adalah Bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya
terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Umum
Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu
perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan
alternatif yang selain menyediakan jasa perbankan atau keuangan yang sehat,
juga memenuhi prinsip-prinsip syariah. Perkembangan industri keuangan syariah
secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal
sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Hal tersebut
menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan
yang dapat memberikan jasa keuangan sesuai dengan syariah.
Bank ini banyak memberikan manfaat dan kemudahan
bagi masyarakat, khususnya muslim. Di Indonesia, mayoritas penduduk beragama
Islam, sehingga seharusnya hukum keuangan yang diterapkan mengikuti hukum
perekonomian Islam, yaitu bank syariah.
Prinsip bank syariah pada dasarnya sama seperti
sifat-sifat nabi, yaitu siddiq, tabligh, amanah, fathonah. Sedangkan prinsip
kegiatan usaha bank syariah yaitu : hiwalah, ijarah, ijarah wa iqtina,
istishna, kafalah, mudharabah, murabahah, musyarakah, qardh, al-qardh ul hasan,
rahn, salam, sharf, ujr, wadi’ah, wakalah.
4.2
Saran
Dilihat dari keuntungan-keuntungan dan
manfaat dari bank syariah sendiri, seharusnya masyarakat menggunakan bank
syariah sebagai tempat penyimpan modal. Namun faktanya pada zaman ini masih
banyak yang menggunakan bank konvensional karena tergiur oleh bunga yang
dijanjikan. Padahal bunga adalah riba dalam hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyanda,
Prayoga. 2012. Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Diperoleh dari http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2012/04/13/perkembangan-perbankan-syariah-di-indonesia/,
pada tanggal 25 November 2012
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_l0151_0606055_chapter2.pdf
http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00101%20AK%20BAB%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31251/4/Chapter%20I.pdf
http://idb4.wikispaces.com/file/view/rd4001.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26411/3/Chapter%20II.pdf
http://www.sarjanaku.com/2012/06/bank-syariah-pengertian-prinsip-tujuan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar