Indonesia
merupakan salah satu negara dengan penduduk islam terbesar di dunia dengan
jumlah penduduk beragama islam sebanyak 88 % dari 240 juta jiwa, namun
keberadaan perbankan syariah di Indonesia baru terealisasi pada tahun 1992
yaitu dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dengan dasar hukum
UU No. 7 tahun 1992.
Sistem bank syariah baru mulai
dilirik sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998. Pada saat itu Bank
Indonesia melakukan uji kelayakan terhadap semua bank nasional, dan BMI dengan
umur yang masih muda dan sebagai satu-satunya bank yang beroperasi berdasarkan
prinsip syariah menempati peringkat ke 43 dari 208 bank yang ada. Sejak itulah
banyak bank konvensional mulai tertarik dengan bank syariah dan perkembangan
perbankan syariah di Indonesia dapat terbilang cukup pesat.
Satu tahun kemusian pemerintah
memberikan amanah kepada Bank Indonesia untuk
mengembangkan perbankan syariah di Indonesia. Selain menganut strategi market driven dan fair treatment, pengembangan
perbankan syariah di Indonesia dilakukan dengan strategi pengembangan bertahap
yang berkesinambungan (gradual and
sustainable approach) yang sesuai dengan prinsip Syariah (comply to Sharia principles).
Tahap pertama
dimaksudkan untuk meletakkan fundasi pertumbuhan perbankan syariah yang kokoh
(2002 – 2004). Tahap kedua memasuki fase untuk memperkuat struktur industri
perbankan syariah (2004 – 2008). Kedua tahap tersebut terbukti keefektifannya,
dimana hingga akhir kuartal 1 tahun 2005 perbankan syariah
mengalami kemajuan pesat. Pembiayaan syariah pada saat itu mencapai lebih dari
16 triliun yang berasal dari 3 bank umum syariah dan 17 unit usaha syariah.
Tahap ketiga perbankan
syariah diarahkan untuk dapat memenuhi standar keuangan dan mutu pelayanan Internasional
(2008–2011). Perkembangan perbankan syariah jauh lebih pesat sejak
diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2008 diterbitkan pada 16 Juli 2008, yang mengatur dengan rinci landasan hukum dan
jenis-jenis usaha yang dapat dijalankan perbankan syariah, serta memberikan
arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah.
Menurut
Direktorat Perbankan Syariah-Bank Indonesia 2010, ternyata keberpihakan pada
sektor UMKM yang dilakukan bank syariah lebih baik daripada bank konvensional
yaitu dengan porsi pembiayaan sebesar 77,1% sementara bank konvensional hanya
sebesar 52,5%. Bahkan di salah satu perbankan syariah swasta yang ada di
Indonesia dalam kurun waktu lima tahun (2005-2010) menunjukkan bahwa nasabah
kategori Mikro yang meningkat menjadi Kecil sebanyak 863 nasabah. Nasabah kategori
Kecil yang meningkat menjadi Komersial sebanyak 1.373 nasabah.
Sementara
nasabah kategori Komersial yang menjadi Korporasi sebesar 127 nasabah. Oleh
karena itu potensi atau peluang pengembangan perbankan syariah masih besar
dengan keberpihakannya kepada masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal itu
sekaligus menunjukkan bahwa perbankan syariah mempromosikan stabilitas keuangan
yang lebih tahan krisis dan tetap menunjukkan kinerja positif di tengah gejolak
inflasi & suku bunga, sehingga pertumbuhan volume usaha perbankan syariah
di Indonesia lebih tinggi dibanding bank konvensional.
Professor
of Banking and Financial Regulation Loughborough University, Maximilian
JB Hall mengatakan industri perbankan syariah dapat bertahan dari krisis global
karena tidak terkait dengan mekanisme pasar dan tanpa spekulasi. Hal itu mengingat paparan risiko ke
sektor finansial global kecil. Dari data BI, rasio kecukupan modal perbankan
syariah stabil di kisaran 15 % pada September 2012. “Tingkat pembiayaan
bermasalahnya juga tetap menurun karena analisis yang lebih baik”, kata Edy
Setiadi-Direktur Eksekutif Departemen Perbankan Syariah Bank Indonesia.
Menurut
Ismail dalam bukunya yang berjudul keuangan dan investasi syariah memaparkan
bahwa teknik mudharabah dan musyarakah (prinsip usaha bank syariah) hanya dapat
membiayai produksi dan tidak membiayai konsumsi. Hal itu tidak akan
mengakibatkan inflasi dalam ekonomi sehingga perbankan syariah terbukti lebih
tahan krisis walaupun ditengah gejolak inflasi. Selain itu prinsip pembiayaan
islam perbankan syariah dapat memperbesar lapangan pekerjaan dan mengurangi
kemiskinan melalui prinsip mudharabah.
Mudharabah
secara utama mempertemukan orang-orang yang memilikimodal dengan orang-orang
yang mampu berusaha tetapi tidak mempunyai modal. Musyarakah dapat membantu
melalui pengelompokan beberapa orang yang memiliki dana sedikit dan digunakan
dalam sebuah usaha secara penuh. Ijarah/leasing dapat diterapkan bagi seorang
pengusaha saat awal membuka usaha yang tidak mempunyai modal besar. Dengan
ijarah pengusaha dapat melakukan sistem sewa alat yang dibutuhkan untuk
usahanya.
Stabilitas
ekonomi juga terbentuk karena prinsip mudharabah dan musyarakah dimana pada
sisi liabilitas bank membuat sistem perbankan lebih stabil. Liabilitas bank
bergerak sama dengan aset dan beberapa guncangan pada sisi aset tidak
menciptakan krisis dengan cepat. Lebih jauh lagi, harga modal berdasarkan pada
profit dan loss sharing tidak hanya membantu menjaga supply dan demand pada
modal dalam ekuilibrium tetapi juga menjaga supply dan demand entrepreneur
dalam ekuilibrium
Edy
Setiadi menyatakan, “Pertumbuhan aset perbankan syariah secara nasional tetap
tinggi bahkan lebih tinggi daripada pertumbuhan aset perbankan syariah secara
global. Dalam dua-tiga tahun terakhir, pertumbuhan aset perbankan syariah
mencapai 36 persen per tahun dan pertumbuhan kredit pada September 2012
mencapai 40 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Fokus penyaluran kredit ke sektor UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah)”.
Pada tahun
2005, asset perbankan syariah sebesar 20,9 triliun dan tumbuh sebesar 37,4 % dari
tahun 2004. Pembiayaan perbankan syariah sebesar 15,2 triliun meningkat 34,8 % dari
tahun 2004 dan DPK perbankan syariah sebesar 15,6 triliun dan tumbuh sebesar
33,2 % dari tahun 2004.
Pada tahun
2006, asset perbankan syariah sebesar 26,7 triliun dan tumbuh sebesar 28 % dari
tahun 2005. Pembiayaan perbankan syariah sebesar 20,4 triliun meningkat 34,2 % dari
tahun 2005 dan DPK perbankan syariah sebesar 20,7 triliun dan tumbuh sebesar
32,6 % dari tahun 2005.
Pada tahun
2007, asset perbankan syariah sebesar 36,5 triliun dan tumbuh sebesar 36,7 % dari
tahun 2006. Pembiayaan perbankan syariah sebesar 27,9 triliun meningkat 36,7 % dari
tahun 2006 dan DPK perbankan syariah sebesar 28 triliun dan tumbuh sebesar 35,5
% dari tahun 2006.
Pada tahun
2008, asset perbankan syariah sebesar 49,6 triliun dan tumbuh sebesar 35,6 % dari
tahun 2007. Pembiayaan perbankan syariah sebesar 38,2 triliun meningkat 36,7 % dari
tahun 2007 dan DPK perbankan syariah sebesar 36,9 triliun dan tumbuh sebesar
31,6 % dari tahun 2007.
Pada tahun
2009, asset perbankan syariah sebesar 66,1 triliun dan tumbuh sebesar 33,4 %
dari tahun 2008. Pembiayaan perbankan syariah sebesar 46,9 triliun meningkat
22,8 % dari tahun 2008 dan DPK perbankan syariah sebesar 52,3 triliun dan
tumbuh sebesar 41,6 % dari tahun 2008.
Pada tahun
2010, asset perbankan syariah sebesar 97,5 triliun dan tumbuh sebesar 47,6 %
dari tahun 2009. Pembiayaan perbankan syariah sebesar 68,2 triliun meningkat
45,4 % dari tahun 2009 dan DPK perbankan syariah sebesar 76 triliun dan tumbuh
sebesar 45,5 % dari tahun 2009.
Pada bulan
Maret 2011 (kuartal 1), asset perbankan syariah sebesar 101,2 triliun dan
tumbuh sebesar 3,8 % dari tahun 2010. Pembiayaan perbankan syariah sebesar 74,3
triliun meningkat 8,9 % dari tahun 2010 dan DPK perbankan syariah sebesar 79,7
triliun dan tumbuh sebesar 4,8 % dari tahun 2010.
Pada bulan
Juni 2011 asset perbankan syariah sebesar 109,8 triliun dan tumbuh sebesar 8,5
% dari bulan Maret 2011. Pembiayaan perbankan syariah sebesar 78,6 triliun
meningkat 5,9 % dari bulan Maret 2011 dan DPK perbankan syariah sebesar 87
triliun dan tumbuh sebesar 9,3 % dari bulan Maret 2011.
Menurut data
Bank Indonesia, terdapat 11 Bank Umum Syariah (BUS) yang beroperasi di
Indonesia dengan nilai aset per Januari 2012 adalah sebesar Rp115,3 triliun
tumbuh 46 persen dibandingkan pada Januari 2011 yang senilai Rp78,2 triliun. Sedangkan
aset 24 Unit Usaha Syariah (UUS) per Januari 2012 adalah Rp28,6 triliun tumbuh
63 persen dibandingkan Januari 2011 yang hanya berjumlah Rp17,9 triliun.
Aset 155
Bank Perkreditan Rakyat Syariah per Januari 2012 ialah Rp3,61 triliun dibanding
posisi Januari 2011 yaitu Rp2,77 triliun sehingga meningkat 30,1 persen. Total
aset perbankan syariah
tahun 2012 sebesar Rp 200 triliun atau 5 % dari total aset perbankan nasional
sebesar Rp 4.000 triliun.
Prospek dan peluang perbankan syariah di masa
depan sangat cerah, positif dan tetap menjanjikan. Peluang tersebut diindikasikan
oleh beberapa hal, yaitu :
1.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang
masih terbuka dan diperkirakan mencapai 6,5 % pada 2013, maka ruang bagi
perbankan syariah untuk tumbuh sangat terbuka. Ekonomi domestik yang ditopang
oleh konsumsi masyarakat dan investasi masih tetap menjadi motor penggerak
utama roda perekonomian nasional dimana keduanya menyumbangkan sekitar 88 %
dari total prosuk domestic Bruto (PDB).
2.
Inflasi yang rendah dan pendapatan
perkapita masyarakat yang terus meningkat yang tentunya mendorong peningkatan
jumlah kelas menengah baru. Indikator-indikator ini akan meningkatkan purchasing power
masyarakat sehingga mendorong pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah.
Pertumbuhan pembiayaan bank syariah diperkirakan sebesar 40% pada tahun
depan.
3.
Sejalan dengan itu, ekonomi Asia
juga menunjukkan ketahanannya yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang
kuat, inflasi rendah, sistem keuangan yang sehat, dan keseimbangan fiskal yang
sehat. Semuanya menunjukkan hal yang positif bagi pertumbuhan perbankan syariah
di masa depan.
4.
Optimisme pertumbuhan
perbankan syariah di Indonesia, ditopang oleh kondisi ekonomi Indonesia yang
semakin baik. Menurut banyak pengamat dan Forum KEN (Komite Ekonomi Nasional) disebutkan
Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi paling stabil di dunia
dalam 20 triwulan terakhir dan dalam 8 tahun terakhir pertumbuhan
ekonomi Indonesia sekitar 6,1-6,2% per tahun dengan proyeksi 2013 tumbuh berkisar
6,3-6,7%. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia tercatat sebagai yang
tertinggi ketiga setelah China dan India.
Berdasarkan agregat makro tersebut, perbankan
syariah mempunyai peluang yang besar untuk terus dapat berekspansi dan
berkembang, dengan berbagai kebijakan yang produktif untuk mendorong
pertumbuhan perbankan syariah, seperti leverage model perbankan syariah,
inovasi produk, peningkatan layanan, seperti kemudahan transkasi (utamanya payment),
perluasan jaringan kantor, peningkatan teknologi informasi.
Menurut proyeksi moderat Bank Indonesia, asset
perbankan syariah pada tahun 2013 menjadi Rp 269 triliun, tumbuh sekitar
Rp 90 triliun (44 %) dari sekarang yang masih Rp 179 triliun. Proyeksi
moderat Bank Indonesia tersebut tampaknya sangat mungkin dicapai, bahkan
menurut prediksi Agustianto-Ketua I IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia),
angka itu akan terlampaui di akhir tahun 2013 nanti. Pada
tahun 2013 diprediksikan pertumbuhan pendanaan (funding) akan lebih ketat
dibandingkan pembiayaan, terutama dana-dana murah.
Namun demikian, Agustianto optimis pengembalian
dana ONH (Ongkos Naik Haji) dari penempatan di sukuk ke perbankan syariah
akan mendongkrak jumlah dana DPK di bank syariah. Oleh karena itu penempatan
kembali dana ONH ke bank syariah sangat dinantikan oleh seluruh
masyarakat ekonomi syariah dan masyarakat muslim yang memahami manfaat
dana haji untuk kemaslahatan umat.
Bank syariah tidak hanya memiliki peluang yang
besar namun tantangan yang dihadapi kedepannya semakin besar pula. 11 tantangan
perbankan syariah menurut Agustianto meliputi :
1.
Menyiapkan diri untuk menghadapi
terbentuknya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada 2015, mengingat Indonesia
merupakan pasar potensial dengan ruang pertumbuhan yang sangat luas serta
pencapaian kinerja yang lebih baik dibandingkan perbankan di negara lain.
2.
Untuk menjadi industry perbankan
syariah yang unggul, perbankan syariah harus kreatif dan inofative dalam menciptakan
produk yang sesuai dengan kebutuhan bisnis nasabah yang senantiasa berubah
cepat.
3.
SDM adalah pilar utama
pengembangan perbankan syariah. Penambaahan SDM yang kompeten dengan jumlah
yang cukup menjadi tuntutan mutlak. Oleh karena itu manajemen bank syariah
harus memprioritaskan penciptaan SDM yang kompeten dan berkualitas. Hal ini
dapat diwujudkan dengan terus-menerus mengikuti training dan workshop atau
kuliah pascasarjana.
4.
Perbaikan kualitas pelayanan
perbankan syariah agar dicapai tingkat exellence. Kualitas pelayanan perbankan
syariah harus setara, bahkan melebihi pelayanan perbankan konvensional.
5.
Pemanfaatan teknologi IT untuk
mendukung layanan, kemudahan akses pembayaran (internet banking, sms banking,dll) serta
terciptanya produk-produk baru.
6.
Pelayanan pembiayaan kepada sektor
UMKM dan pembiayaan produktif harus diprioritaskan, guna mendorong pertumbuhan
ekonomi yang inklusif yang menyentuh masyarakat secara luas. Upaya ini dapat
ditambah dengan membangun linkage program dengan lembaga keuangan mikro syariah,
seperti KJKS, BMT dan BPR syariah.
7.
Peningkatan pemahaman masyarakat
tentang produk bank syariah, peningkatan pemahaman dan tindakan bankers
syariah yang berlandasan maqasid syariah. Edukasi dan sosialisasi, harus terus
digalakkan dengan gerakan-gerakan sinergis.
8.
Penyediaan modal sendiri harus
terus disiapkan untuk memenuhi ketentuan BI tentang multiple license dan/atau
ketentuan risk
management. Bank Syariah harus segera meningkatkan posisinya dari
Buku I menjadi Buku II. Bahkan dari Buku II menjadi Buku III, agar bisa berkembang
dan ekspansi lebih luas.
9.
Bagaimana memperbesar porsi
peningkatan pembiayaan ke sektor-sektor yang produktif dan beresiko rendah, seperti
infrastrktur yang dibiayai APBN. Bank-Bank Syariah bisa melakukan sindikasi
tidak saja sesama bank syariah tetapi juga dengan bank konvensional.
Selanjutnya pembiayaan segmen konsumer akan lebih tinggi pertumbuhannya
dibandingkan non konsumer.
10.
Membangun brand positioning yang
kuat melalui kegiatan promosi dan edukasi yang efektif serta penerapan
nilai-nilai syariah sebagai faktor pembeda (differentiator) dengan system
konvensional.
11.
Pembukaan outlet baru untuk
mendukung peningkatan daya jangkau dan perbaikan kualitas layanan. Jadi selain
mengandalkan leverage
model dan office channeling,
perbankan syariah juga harus ekspansi dengan pendirian outlet baru. Kerjasama
dengan lembaga-lembaga yang berjaringan massif harus diutamakan, seperti PT. POS
dalam gerakan funding.
Tantangan yang akan dihadapi kedepannya oleh
perbankan syariah menurut IB dan BNI Syariah meliputi :
1.
SDM yang handal dan kompeten.
2.
Inovasi produk (BI, DSN, IAI).
3.
Meningkatkan Publik Awarness.
4.
Tingkat pelayanan setara dengan
bank konvensional.
5.
Infrastruktur setara dengan bank
konvensional.
6.
Persaingan dengan bank
konvensional
Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim
Alamsyah, tahun 2013 merupakan tahun transisi pengawasan mikroprudential
perbankan dari Bank Indonesia kepada OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Dalam proses
transisi ini, perbankan syariah fokus pada 5 program strategis yang mendorong
pada pemerataan ekonomi, yaitu :
1. Mengarahkan pembiayaan perbankan syariah pada sektor ekonomi produktif
dan masyarakat yang lebih luas.
2.
Mengembangkan produk yang lebih
memenuhi kebutuhan masyarakat dan sektor produktif.
3.
Melaksanakan transisi pengawasan
yang tetap menjaga kesinambungan pengembangan perbankan syariah.
4.
Revitalisasi peningkatan sinergi
dengan bank induk.
5.
Meningkatkan edukasi dan komunikasi
produk perbankan syariah.
Perlu ditambahkan bahwa faktor pengawasan yang
kuat secara internal dan eksternal mutlak dibutuhkan. Jumlah dan skala bisnis
bank yang beragam menyebabkan risiko yang dihadapi akan relatif beragam
sehingga penguatan fungsi pengawasan regulator sebagai bagian dari early warning sistem
akan menjadi kunci dalam mengantisipasi munculnya risiko sistematik yang
mungkinj terjadi di masa-masa yang akan datang.
Eksplorasi dan analisis terhadap lima arah
kebijakan perbankan syariah di atas memerlukan kajian yang lebih luas dan
panjang. Beralihnya fungsi pengawasan perbankan kepada OJK pada tahun 2014
memunculkan harapan kuat bahwa fungsi pengawasan pada lembaga keuangan akan
lebih terintegrasi dan terkordinasi, terutama dalam mengantisipasi imbas krisis
global yang terjadi sekarang. Masa transisi 1 tahun perlu dijadikan sebagai
tahap pematangan di tingkat implementasi dari semua pihak yang terlibat agar
fungsi dan harapan dari terbentuknya OJK benar-benar tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Agustianto. (2013). Peluang, Tantangan, dan Outlok Perbankan Syariah
2013. (http://www.eramuslim.com dikutip
pada 14 Januari 1915 WIB).
Ascarya. 2006. Akad dan Produk Bank Syariah : Konsep dan Praktek di Berbagai
Negara. Jakarta : Bank Indonesia.
Budisantoso, Totok dan Triandaru, Sigit. 2006. Bank dan Lembaga
Keuangan Lain, Edisi 2. Jakarta : Salemba Empat.
Djumena, Erlangga. (2012). Bank Syariah Lebih Tahan Krisis. (http://bisniskeuangan.kompas.com dikutip
pada 14 Januari jam 08.52 WIB).
Ismail dan Khan, M. Fahim. 2010. Keuangan dan Investasi Syariah Sebuah
Analisa Ekonomi. Jakarta : Sketsa.
Program Studi Manajemen. (2012). Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia.
(http://www.paramadina.ac.id dikutip
pada 14 Januari 2013 jam 09.05 WIB).
Thohuri, H. Rizqullah. (2011). Perkembangan Perbankan Syariah di
Indonesia dan Kebutuhan akan SDM Unggul. (http://ebookbrowse.com
dikutip pada 16 Januari 2013 jam 20.08 WIB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar