Dasar
Hukum CSR
Landasan hukum yang menyangkut CSR terdapat dalam UU 40 tahun 2007 yang
berisi peraturan mengenai diwajibkannya melakukan CSR. Direksi yang bertanggung
jawab bila ada permasalahan hukum yang menyangkut perusahaan & CSR. Selain
itu Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Moda pasal 15 huruf (b)
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan”
adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk
tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan,
nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Pasal 1 angka 3 UUPT, tangung jawab sosial dan lingkungan adalah
komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan
guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya. Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan atau CSR merupakan salah satu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang-undang Perseroan
Terbatas (UUPT) yang baru. Undang-undang ini disahkan dalam sidang paripurna
DPR.
Di Indonesia, CSR semakin menguat
setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU Perseroan Terbatas No.40 Tahun 2007,
dimana dalam pasal 74 antara lain diatur bahwa :
1.
Ayat 1 : Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan Sumber Daya Alam
(SDA) wajib melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan.
2.
Ayat 2 : Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud
ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan
kepatutan dan kewajaran.
3.
Ayat 3 : Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4.
Ayat 4 : Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut Edi Suharto
(2008), peraturan tentang CSR yang relatif lebih terperinci adalah UU No.19
Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudian dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan
Menteri Negara BUMN No. : Per-05/MBU/2007 yang mengatur mulai dari besaran dana
hingga tatacara pelaksanaan CSR. Seperti diketahui, CSR milik BUMN adalah
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Dalam UU BUMN dinyatakan bahwa
selain mencari keuntungan, peran BUMN adalah juga memberikan bimbingan bantuan secara
aktif kepada pengusaha golongan lemah, koperasi dan masyarakat. Selanjutnya,
Permeneg BUMN menjelaskan bahwa sumber dana PKBL berasal dari penyisihan laba
bersih perusahaan sebesar maksimal 2 persen yang dapat digunakan untuk Program
Kemitraan ataupun Bina Lingkungan.
Untuk pelaksanaan
PKBL di BUMN, diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 88 UU No. 19/2003 tentang BUMN
sebagai berikut:
a.
Pasal
2 ayat (1) huruf e
salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah turut
aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah,
koperasi, dan masyarakat.
b.
Pasal
88 ayat (1)
BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk
keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi
serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.
c.
Pasal
88 ayat (2)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai penyisihan dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Selanjutnya dalam
butir 5 Pasal 1 UU No.19/2003 tersebut dinyatakan "Menteri adalah menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk
mewakili pemerintah selaku pemegang saham negara pada Persero dan pemilik modal
pada Perum dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PKBL yang diatur oleh Menteri
Negara BUMN dalam Peraturan No. : Per-05/MBU/2007 tentang PKBL adalah dalam kedudukan
Menteri Negara BUMN selaku pemegang saham di BUMN.
Terbitnya UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas
yang antara lain mengatur kewajiban pelaksanaan tanggung jawab sosial dan
lingkungan bagi Perseroan Terbatas di satu pihak dan berlakunya kewajiban BUMN
melaksanakan PKBL di lain pihak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda karena
pada dasarnya kedua hal tersebut mengatur tentang tanggung jawab perseroan.
Oleh karena itu diperlukan suatu kajian mengenai hal tersebut agar tidak
menimbulkan kerancuan dalam implementasinya bagi perusahaan BUMN di masa
datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar