BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki
kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer dan sekunder dan lain-lain.
Namun, tidak semua masyarakat bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh sebab itu,
dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat maka
muncullah beberapa jasa pembiayaan yang ditawarkan diantaranya oleh lembaga
perbankan syari’ah.
Menurut Muhammad Djumhana dalam bukunya
yang berjudul “Hukum Perbankan Di
Indonesia Lembaga”, perbankan merupakan salah
satu lembaga keuangan yang mempunyai nilai strategis dalam dunia perekonomian
suatu negara. Lembaga tersebut berfungsi sebagai perantara pihak-pihak yang
kekurangan dana (lacks of funds) dengan pihak-pihak yang
mempunyai kelebihan dana (surplus of funds). Dengan demikian,
lembaga perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan, dan berbagai jasa
yang diberikan oleh bank, melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan
mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.
Bank yang terdapat di Indonesia sekarang ini tidak
hanya yang beroperasi berdasarkan prinsip konvensional saja. Prinsip bank
berdasarkan syari’ah merupakan salah satu bentuk jasa perbankan, yang baru
mendapatkan pengakuan secara formil yuridis setelah dikeluarkannya
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Sehingga bank berdasarkan
prinsip Islam ini mempunyai fungsi yang sama seperti bank konvensional yang
telah ada yaitu sebagai lembaga perantara pihak-pihak yang kekurangan dana
dengan pihak-pihak yang kelebihan dana (intermediary financial
institution). Namun menurut Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan yang membedakan adalah dalam
cara pengoperasiannya, dimana bank syari’ah tidak mengenal sistem bunga dan
menggunakan sistem bagi hasil bagi para nasabahnya.
Menurut Muhammad Amin Suma, dalam bukunya “Ekonomi Syariah Suatu Alternatif Sistem Ekonomi Konvensional”, konsep dari
sistem ekonomi syari’ah adalah, meletakkan nilai-nilai islam sebagai konsep
dasar dan landasan dalam aktivitas perekonomian dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat lahir dan bathin. Lembaga perbankan dalam syariah
islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang
menyatakan bahwa “maa laa yatimm al-wajib illa bi hi fa huwa
wajib” yang berarti sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang
wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah termasuk melakukan kegiatan
ekonomi adalah wajib adanya, oleh karena pada saat ini kegiatan perekonomian
tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini
pun menjadi wajib untuk diadakan.
Salah satu jasa perbankan syari’ah yang ditawarkan
adalah jasa pembiayaan Ijarah, pembiayaan ijarah ini mempunyai konsep yang
berbeda dengan konsep kredit pada bank konvensional, pembiayaan Ijarah juga
dikatakan sebagai pendorong bagi sektor usaha karena pembiayaan Ijarah
mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan jenis pembiayaan syari’ah lainnya.
keistimewaan tersebut adalah bahwa untuk memulai kegiatan usahanya, pengusaha
tidak perlu memiliki barang modal terlebih dahulu, melainkan dapat melakukan
penyewaan kepada bank syari’ah, sehingga pengusaha tidak dibebankan dengan
kewajiban menyerahkan jaminan, maka dapat dikatakan bahwa pembiayaan Ijarah
lebih menarik dibandingkan jenis pembiayaan lainnya seperti Mudharabah dan Musyarakah.
Pembiayaan ijarah dengan akad sewa-menyewa pada bank syari’ah merupakan akad yang sangat
fleksibel, sedangkan dalam
penerapannya sangat meringankan dan memberi kemudahan bagi para nasabahnya. Nasabah yang memerlukan suatu barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan konsumtif atau bisnis, tetapi tidak harus memiliki barang tersebut secara permanen atau
membutuhkan barang tetapi tidak dapat membelinya maka dapat menggunakan akad
ijarah muntahiya bit tammlik (IMBT). Akad IMBT ialah akad yang memperjanjikan antara penyewa dan pemilik
sewa terhadap suatu barang namun pada masa akhir sewa maka terjadi perpindahan
kepemilikan objek sewa.
Terkait pentingnya pembiayaan dengan menggunakan
akad ijarah dalam bisnis perbankan, maka perlu sekiranya untuk mengetahui
tentang mekanisme terkait hal tersebut. Mekanisme tersebut harus sesuai dengan
prinsip kehati-hatian, guna untuk meningkatkan
keefesienan kinerja perbankan.
1.2
Rumusan
Masalah
Terkait
dengan paparan di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah antara lain
adalah :
1. Apa
yang dimaksud dengan ijarah dan bagaimana dasar hukumnya ?
2. Apa
rukun dan syarat ijarah ?
3. Sebutkan
pembagian ijarah ?
4. Bagaimana
pembatalan dan berakhirnya ijarah ?
5. Jelaskan
perbedaan antara ijarah dengan leasing ?
6. Bagaimana
implementasi dari ijarah ?
1.3
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian ijarah beserta dasar hukumnya.
2. Untuk
mengetahui rukun dan syarat ijarah.
3. Untuk
mengetahui pembagian ijarah.
4. Untuk
mengetahui pembatalan dan berakhirnya ijarah.
5. Untuk
mengetahui perbedaan antara ijarah dengan leasing.
6. Untuk
mengetahui implementasi dari ijarah.
1.4
Manfaat
Penulisan
1. Memahami
dengan jelas tentang pengertian ijarah beserta dasar hukumnya
2. Memahami
dengan jelas tentang rukun dan syarat ijarah.
3. Memahami
dengan jelas tentang pembagian ijarah.
4. Memahami
dengan jelas tentang pembalatalan dan berakhirnya ijarah.
5. Memahami
dengan jelas tentang perbedaan antara ijarah dengan leasing.
6. Memahami
dengan jelas tentang implementasi dari ijarah.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Ijarah dan Dasar Hukum
Pengertian Ijarah
Menurut etimologi Ijarah berasal dari
kata Al-ajru yang artinya al-‘iwadh (ganti atau upah). Sedangkan
menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisakan Ijarah. Dibawah
ini akan dikemukakan beberapa definisi Ijarah menurut pendapat beberapa ulama
fiqih :
1. Ulama
Hanafiyah :
عقد
على المنا فع بعوض
Artinya
: “Akad atas sesuatu kemanfaatan
dengan pengganti”.
2. Ulama
Asy-Syafi’iyah :
عقد
علىى منفعة مقصود ة معلو مة مبا حة قا بلة للبذ ل والاءبا حة بعو ض معلوم
Artinya
: “Akad atas sesuatu kemanfaatan yang
mengandung maksud tertentu yang mubah, serta menerima pengganti atau
kebolehan dengan pengganti tertentu.”
3. Ulama
Malikiyah dan Hambaliyah :
تمليك
منا فع شى ء مبا حة مد ة معلو مة بعوض
Artinya:
”Menjadikan milik sesuatu kemanfaatan yang
mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
4. Jumhur
Ulama fiqih berpendapat bahwa Ijarah adalah menjual manfaatnya bukan bendanya.
Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba
untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua
itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya.
5.
Dari pendapat diatas
dapat disimpulkan bahwa akad Ijarah identik dengan akad jual beli, namun
demikian dalam Ijarah kepemilikan barang dibatasi dengan waktu. Secara harfiah,
Al-Ijarah bermakna jual beli manfaat dan juga merupakan makna istilah syar’i.
Al-Ijarah bisa diartikan sebagai akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa
dalam batasan waktu tertentu, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan atas barang.
Dasar Hukum
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong mempunyai
landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan
pada masa Khlaifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan
adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah
bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan dan sebagai langkah alternatif
adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah.
Hukum Ijarah shahih adalah tetapnya
kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang
menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli pertukaran,
hanya saja dengan kemanfaatannya.
Adapun hukum Ijarah rusak,
menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang
yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada
waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika
kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya,
upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan Ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa Ijarah fasid sama dengan jual-beli fasid, yakni harus dibayar
sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
Dasar-dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah
Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.
Dasar
hukum Ijarah dalam Al-Qur’an adalah :
1.
Al-Qur'an surat al-Zukhruf
: 32
Artinya : Apakah mereka yang
membagi-bagikan rahmat Tuhanmu?Kami telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas
sebagaian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagaian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka
kumpulkan.
2.
Al-Qur’an surat al-Baqarah
: 233
Artinya : Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah
kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
3.
Al-Qur’an surat al-Qashash
: 26
Artinya : Salah seorang dari kedua wanita itu berkata : Hai ayahku!
Ambilah ia sebagai orang yang bekerja pada (kita), karena sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambi untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya.
4. Al-Qur’an
surat Al-Thalaq : 6
فان ا رضعن لكم فا تو هن اجورهن
(الطلاق)
Artinya : “Jika mereka telah menyusukan anakmu,
maka berikanlah upah mereka”
Dasar
hukum Ijarah dari Al-hadis adalah :
1. Riwayat
Ibnu Majah
اعطو االاجيرا جره قبل ا ن يجف عر قه
Artinya : “Berikanlah olehmu upah orang sewaan
sebelum krtingatnya kering”.
2. Riwayat
Bukhari dan Muslim
احتجم وا عط الحجا م اجره (رواه
البخارى ومسلم )
Artinya : “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah
olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”.
Landasan Ijma’nya ialah semua umat
bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (Ijma’) ini,
sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal
itu tidak dianggap.
2.2
Rukun
dan Syarat Ijarah
Rukun ijarah antara lain adalah :
1. Orang yang menyewakan :
Syaratnya :
a. Baligh
b. Berakal
c. Atas kehendak sendiri
2. Orang yang menyewa
Syaratnya sama dengan orang yang menyewakan.
3. Barang atau benda yang disewakan
Syaratnya :
a. Barang yang disewakan harus bermanfaat
b. Barang yang disewakan termasuk yang dilarang agama
c. Barang yang disewakan harus diketahui jenis, kadar,
sifatnya dan ada ketentuan sampai seberapa kemanfaatannya atau ditentukan
waktunya.
4. Imbalan sebagai bayaran (upah)
Syaratnya :
a. Tidak berkurang nilainya
b. Harus jelas
c. Bisa membawa manfaat yang jelas
5. Akad (Ijab qabul)
Syarat akad ijarah sama dengan akad jual beli dengan
tambahan menyebutkan masa waktu yang telah ditentukan.
6. Ketentuan
Objek Ijarah:
a.
Objek ijarah adalah
manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
b.
Manfaat barang harus bisa dinilai
dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
c.
Pemenuhan manfaat harus yang
bersifat dibolehkan.
d.
Kesanggupan memenuhi manfaat harus
nyata dan sesuai dengan syariah.
e.
Manfaat harus dikenali secara
spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan
mengakibatkan sengketa.
f.
Spesifikasi manfaat harus
dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan
spesifikasi atau identifikasi fisik.
g.
Sewa adalah sesuatu yang
dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syariah sebagai
pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat
pula dijadikan sewa dalam ijarah.
h.
Pembayaran sewa boleh berbentuk
jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
i.
Kelenturan (flexibility) dalam
menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
2.3
Pembagian
Ijarah
Ijarah terbagi dua, yaitu Ijarah
terhadap benda atau sewa-menyewa, dan Ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.
a. Sewa-Menyewa
Diperbolehkan
Ijarah atas barang mubah seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi dilarang
Ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
Cara
memanfaatkan barang sewaan.
§ Sewa
Rumah
Jika
seseorang menyewa rumah, dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya,
baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang lain, bahkan boleh disewakan lagi
atau dipinjamkan kepada orang lain.
§ Sewa
tanah
Sewa
tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan
apa yang akan didirikan disana. Jika tidak dijelaskan, Ijarah dipandang rusak.
§ Sewa
kendaraan
Dalam
menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus dijelaskan salah
satu diantara dua hal, yaitu waktu dan tempat. Juga harus dijelaskan barang
yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut.
Perbaikan
barang sewaan.
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang
yang disewakan rusak, seperti pintu rusak atau dinding jebol dan lain-lain.
Pemiliknya lah yang berkewajiban memperbaikinya, tetapi ia tidak boleh dipaksa
sebab pemilik barang tidak boleh dipaksakan untuk memperbaiki barangnya
sendiri. Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab
dianggap suka rela. Ada pun hal-hal kecil, seperti membersihkan sampah atau
tanah merupakan kewajiban penyewa.
Kewajiban
penyewa setelah habis masa sewa
§ Menyerahkan
kunci jika yang disewa ruamh.
§ Jika
yang disewakan kendaraan, ia harus menyimpannya kembali ditempat asalnya.
b. Upah-mengupah
Upah-mengupah
atau Ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual beli jasa, biasanya berlaku dalam
beberapa hal seperti menjahit pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah
‘ala al-a’mal terbagi dua, yaitu :
§ Ijarah
khusus
Ijarah
khusus yaitu Ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang
bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberi upah.
§ Ijarah
Musytarik
Ijarah musytarik yaitu
ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya
dibolehkan bekerjasama dengan orang lain.
2.4
Pembatalan
dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah
adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak mebolehkan adanya fasakh pada
salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila
didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh. Agama menghendaki agar dakam
pelaksanaan Ijarah itu senantiasa diperhatikan ketentuan-ketentuan yang bisa
menjamin pelaksanaannya yang tidak merugikan salah satu pihak pun serta
terpelihara pula maksud-maksud mulia yang diinginkan agama.
Ijarah akan menjadi batal
(fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut :
a. Terjadi
cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
b. Rusaknya
barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
c. Rusaknya
barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk
dijahitkan.
d. Terpenuhinya
manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya
pekerjaan.
e. Menurut
Hanafiyah, boleh fasakh Ijarah dari salah satu pihak, seperti yang
menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia
dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.
Para ulama’ fiqh menyatakan bahwa akad Al-Ijarah akan
berakhir apabila :
a. Obyeknya hilang atau musnah, sebagai contoh,
serperti rumah yang terbakar.
b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah
berakhir. Apabila yang disewakan itu adalah rumah, maka rumah itu dikembalikan
pada pemiliknya, dan apabila yang disewakan itu adalah jasa seseorang, maka ia
berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama’ fiqh.
c. Menurut ulama’ Hanafiah, wafatnya salah seorang yang
berakad, karena akad al-ijarah, menurut mereka
tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama’,
akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena
manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli,
yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
d.
Menurut
ulama’ Hanafiah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, maka akadnya batal.
Akan tetapi, menurut jumhur ulama’, uzur yang boleh membatalkan akad ijarah
hanyalah apabila obyeknya mengandung cacat atau kemanfaatan yang dituju telah
hilang.
e.
Mazhab Hambali
berpendapat bahwa ketika Ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang
sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya,
seperti barang titipan.
2.5
Perbedaan
Ijarah dengan Leasing
I j a r a h
|
L e a s i n g
|
Objeknya
berupa :
Manfaat barang + jasa
Sistem
pembayaran
1.
Bentuk tetap
2.
Bentuk tidak
tetap
Kepemilikan :
1.
Tidak
dimiliki ketika kontrak habis
2.
Dijanjikan
untuk dijual/dihibahkan di awal periode kontrak.
Lease
purchase /sewa – beli :
Haram karena
gharar (antara sewa dan beli).
|
Objeknya :
Manfaat barang saja
Sistem
pembayaran
- - Bentuk tetap
Kepemilikan
1.
Tidak
dimiliki ketika kontrak habis
2.
Kesempatan
untuk dibeli pada akhir kontrak
Lease purchase :
tidak ada masalah.
|
2.6
Implementasi
Akad Ijarah
Akad-akad yang dipergunakan oleh perbankan syari’ah di
Indonesia dalam operasinya merupakan akad-akad yang tidak menimbulkan
kontroversi yang disepakati oleh sebagian besar ulama dan sudah sesuai dengan
ketentuan syari’ah untuk diterapkan dalam produk dan instrumen keuangan
syari’ah. Akad-akad tersebut meliputi akad-akad untuk pendanaan, pembiayaan,
jasa produk, jasa operasional, dan jasa investasi. Terkait dengan itu,
praktek pembiayaan ijarah dan ijarah muntahiya bit tamlik dalam
lembaga perbankan syari’ah.
1. Ijarah
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, Ijarah
merupakan akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Jadi dalam akad ijarah yang dibuat
oleh nasabah dan pihak perbankan syariah tidak ada unsur transfer of
tittle, yang ada hanyalah kesepakatan untuk memanfaatkan suatu barang atau
jasa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah pada Penjelasan Pasal 19 huruf f, akad ijarah
merupakan akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat
dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Pada PBI No. 9/19/PBI/2007 menyebutkan ijarah
sebagai transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik
objek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa dengan penyewa untuk
mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan.
Tertanggal 17 Maret 2008 Bank Indonesia mengeluarkan
surat edaran No. 10/14/DPBS yang mengatakan bahwa dalam memberikan pembiayaan
ijarah, Bank Syari’ah atau Unit Usaha Syariah (UUS) harus memenuhi langkah
berikut ini, (a) Bank bertindak sebagai pemilik dan/atau pihak yang mempunyai
hak penguasaan atas objek sewa baik berupa barang atau jasa, yang
menyewakan objek sewa dimaksud kepada nasabah sesuai kesepakatan, (b) Barang
dalam transaksi ijarah adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang dapat
diambil manfaat sewanya, (c) Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai
karakteristik produk pembiayaan atas dasar ijarah, serta hak dan kewajiban
nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi
informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah, (d) Bank wajib melakukan
analisis atas rencana pembiayaan atas dasar ijarah kepada nasabah yang antara
lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter dan/atau aspek usaha
antara lain meliputi analisa kapasitas usaha, keuangan dan/atau prospek usaha,
(e) Objek sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan
dinyatakan dengan jelas termasuk besarnya nilai sewa dan jangka waktunya, (f)
Bank sebagai pihak yang menyediakan objek sewa, wajib menjamin pemenuhan
kualitas maupun kuantitas objek sewa serta ketepatan waktu penyediaan objek
sewa sesuai kesepakatan, (g) Bank wajib menyediakan dan untuk merealisasikan
penyediaan objek sewa yang dipesan nasabah, (h) Bank dan nasabah wajib
menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan
atas dasar ijarah, (i) Pembayaran sewa dapat dilakukan baik dengan angsuran
maupun sekaligus, (j) Pembayaran sewa tidak dapat dilakukan dalam bentuk
piutang maupun dalam bentuk pembebasan utang, (k) Bank dapat meminta nasabah
untuk menjaga keutuhan objek sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan objek sewa
sesuai dengan kesepakatan dimana uraian pemeliharaan yang bersifat material dan
structural harus dituangkan dalam akad, dan (l) Bank tidak dapat meminta
nasabah untuk bertanggungjawab atas kerusakan objek sewa yang terjadi bukan
karena pelanggaran akad atau kelalaian nasabah.
Berdasarkan SOP yang disampaikan oleh Bank Syari’ah, tahapan pelaksanaan ijarah adalah sebagai berikut, (a) adanya permintaan untuk menyewakan barang tertentu dengan
spesifikasi yang jelas, oleh nasabah kepada bank syari’ah, (b) Wa’ad antara bank dan nasabah untuk
menyewa barang dengan harga sewa dan waktu sewa yang disepakati, (c) Bank Syari’ah mencari barang yang diinginkan untuk
disewa oleh nasabah, (d) Bank
syari’ah menyewa barang tersebut dari pemilik barang, (e) Bank syari’ah membayar sewa di muka secara penuh, (f) Barang diserahterimakan dari pemilik barang kepada
bank syari’ah, (g) Akad antara
bank dengan nasabah untuk sewa, (h) Nasabah
membayar sewa di belakang secara angsuran, (i) Barang
diserahterimakan dari bank syari’ah kepada nasabah, dan (j) Pada akhir periode, barang diserahterimakan kembali
dari nasabah ke bank syari’ah, yang selanjutnya akan diserahterimakan ke
pemilik barang.
Dari proses ijarah tersebut di atas, perlu dicermati
bahwa ada beberapa bank yang menggunakan uang muka dalam transaksi
ijarah. Hal itu dikarenakan agar bank memperoleh jaminan bahwa nasabah
(penyewa) benar-benar akan menyewa objek sewa tersebut.
Selain Bank Syari’ah sebagai pemberi sewa, di
beberapa bank terdapat juga posisi bank sebagai wakil atau menggunakan wakalah.
Bank syari’ah mewakilkan pemilik barang (objek sewa) kepada nasabah (penyewa).
2. Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT)
Di atas telah disebutkan bahwa produk pembiayaan
perbankan syariah berdasarkan akad sewa-menyewa terdiri dari sewa murni dan
sewa yang diakhiri dengan pemindahan hak kepemilikan atau dikenal dengan ijarah
muntahiya bit tamlik. Ijarah muntahia bittamlik (IMBT) pada
dasarnya merupakan perpaduan antara sewa menyewa dengan
jual beli. Semakin jelas dan kuat komitmen untuk membeli barang di awal akad,
maka hakikat IMBT pada dasarnya lebih bernuansa jual beli. Namun, apabila
komitmen untuk membeli barang di awal akad tidak begitu kuat dan jelas
(walaupun opsi membeli tetap terbuka), maka hakikat IMBT akan lebih bernuansa
ijarah.
Dari sisi ijarah, perbedaan IMBT terletak dari adanya
opsi untuk membeli barang dimaksud pada akhir periode. Sedangkan dari sisi jual
beli, perbedaan IMBT terletak pada adanya penggunaan manfaat barang dimaksud
terlebih dahulu melalui akad sewa (ijarah), sebelum transaksi jual beli
dilakukan.
Secara teknis, implementasi IMBT juga diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPBS pada tanggal 17 Maret
2008 yaitu, (a) Bank sebagai pemilik objek sewa juga bertindak sebagai pemberi
janji (wa`ad) untuk memberikan opsi pengalihan kepemilikan dan/atau hak
penguasaan objek sewa kepada nasabah penyewa sesuai kesepakatan, (b) Bank hanya
dapat memberikan janji (wa`ad) untuk mengalihkan kepemilikan dan/atau
hak penguasaan objek sewa setelah objek sewa secara prinsip dimiliki oleh bank,
(c) Bank dan nasabah harus menuangkan kesepakatan adanya opsi pengalihan
kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa dalam bentuk tertulis, (d)
Pelaksanaan pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa dapat
dilakukan setelah masa sewa disepakati selesai oleh Bank dan nasabah penyewa,
dan (e) Dalam hal nasabah penyewa mengambil opsi pengalihan kepemilikan
dan/atau hak penguasaan objek sewa, maka bank wajib mengalihkan kepemilikan
dan/atau hak penguasaan objek sewa kepada nasabah yang dilakukan pada saat
tertentu dalam periode atau pada akhir periode pembiayaan atas dasar akad IMBT.
Sedangkan berdasarkan SOP
yang disampaikan oleh Bank syari’ah, tahapan pelaksanaan IMBT adalah sebagai
berikut, (a) Adanya permintaan untuk menyewa beli barang tertentu
dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah kepada bank syari’ah, (b) Wa’adantara bank dan nasabah untuk
menyewa beli barang dengan harga sewa dan waktu sewa yang disepakati, (c) Bank Syari’ah mencari barang yang diinginkan untuk
disewa beli oleh nasabah, (d) Bank
syari’ah membeli barang tersebut dari pemilik barang, (e) Bank syari’ah membayar tunai barang tersebut, (f) Barang diserahterimakan dari pemilik barang kepada
bank syari’ah, (g) Akad antara
bank dengan nasabah untuk sewa beli, (h) Nasabah
membayar sewa di belakang secara angsuran, (i) Barang
diserahterimakan dari bank syari’ah kepada nasabah, dan (j) Pada akhir periode, dilakukan jual beli antara bank
syari’ah dan nasabah.
Perlu diperhatikan bahwa dalam praktek di
beberapa bank, komitmen untuk membeli barang pada akhir periode atau dengan
menggunakan IMBT yang dituang dalamwa`ad, cenderung bersifat keharusan
atau wajib bagi nasabah.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Al-Ijarah adalah
salah satu kegiatan mu’amalah, yaitu sewa menyewa pada sebuah kemanfaatan yang
umum, dengan imbalan yang telah disepakati bersama.
Banyak dalil yang menjadi dasar hukum diperbolehkannya
ijarah, salah satunya adalah QS. At-Thalaq ayat 6 dan hadits rasul yang
berbunyi :
مَنِ
اسْتَجَارَ أَجِيْرًا فَلْيَعْلَمْهُ أَجْرَهُ (رواه عبد الرزاق و البيهاقى)
Artinya
: ”Siapa yang menyewa seseorang
maka hendaklah ia beritahu upahnya” (HR. Abd. Ar-Razaq dan Al-Baihaqi).
Rukun dan syarat antara lain adalah
:
1. Orang yang menyewakan :
Syaratnya :
a. Baligh
b. Berakal
c. Atas kehendak sendiri
2. Orang yang menyewa, syaratnya sama dengan orang yang
menyewakan.
3. Barang yang disewakan
Syaratnya :
a. Bermanfaat
b. Tidak dilarang agama
c. Diketahui jenis, kadar, sifatnya dan ada ketentuan berapa
lama barang tersebut disewa.
4. Imbalan
Syaratnya :
a. Harus jelas
b. Tidak berkurang nilainya
c. Bermanfaat
5. Akad
Syaratnya sama dengan akad jual beli, ditambah dengan
masa waktu yang disepakati.
6. Ketentuan
Objek Ijarah:
a. Objek ijarah adalah
manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
b. Manfaat
barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
c. Pemenuhan
manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
d. Kesanggupan
memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
e. Manfaat
harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidak
tahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
f. Spesifikasi
manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga
dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
g. Sewa
adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan
syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam
jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.
h. Pembayaran
sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek
kontrak.
i. Kelenturan
(flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat
dan jarak.
Berakhirnya akad
a. Obyeknya hilang
b. Tenggang Waktunya habis
c. Salah satu orang yang berakad meninggal (menurut ulama’
hanafiah)
d. Uzur di salah satu pihak (menurut ulama’ Hanafiah)
menurut jumhur ulama’, uzurnya hanyalah apabila obyeknya mengandung cacat atau
manfaat yang dituju telah hilang.
3.2
Saran
1. Agar
masyarakat lebih memperhatikan lagi tentang perjanjian sewa guna manfaat sehingga
tidak ada permasalahan di kemudian hari.
2. Agar
masyarakat lebih memilih sistem ijarah daripada leasing sebab ijarah lebih
jelas akadnya dan lebih menguntungkan.
3. Agar
pihak perbankan lebih kritis lagi untuk sistem perbankannya dalam hal persewaan
dengan menerapkan ijarah guna menhindari kedholiman terhadap nasabah/peminjam
sehingga bank akan lebih dipercaya masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Haroen, Nasrun, Fiqh Mu’amalah, Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2007.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung : Sinar
Baru, Algesindo, 2009.
Labib M – Harbiawati, Risalah Fiqh Islam, Surabaya
: Bintang Usaha Jaya, 2006.
Ascarya. 2007. Akad dan Produk Syariah. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Azis, 1992. Mengembangkan Bank Islam di Indonesia.
Jakarta: bangkit.
Bank indonesia. 1999. Petunjuk pelaksanaan pembukaan kantor
bank syariah. Jakarta: Bank Indonesia.
Karim, Adiwarman A. 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan
Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Meida, Fanny. 2007. Makalah Ijarah.
Nazir, habib. Hasan, Muhamad. 2004. Enslikopedi Ekonomi
Syariah. Bandung: Kaki Langit.
Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqih al- Sunnah 3 Beirut. Dari al-
Kitab AL- Arabyt, 1983.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta: Rajawali
Pers.
________, Al- Syarifain, Khadim al- Haramain. Al-Qur’an dan
Terjemahnya.
http://www.fifkredit.com/fif/produk-layanan/syariah.php/
http://alijarahindonesia.com/
http://muhaiminkhair.wordpress.com/2010/04/29/perusahaan-pembiayaan-syariah-di-indonesia-sebuah-tinjauan-analisis-terhadap-perusahaan-pembiayaan-pt-fif-syariah/
http://alimuhayatsyahbloger.blogspot.com/2011/01/mengenal-lembaga-pembiayaan-syariah.html/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar