Minggu, 06 Oktober 2013

Ekonomi Islam - Ijarah dalam Perspektif Islam


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer dan sekunder dan lain-lain. Namun, tidak semua masyarakat bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh sebab itu, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat maka muncullah beberapa jasa pembiayaan yang ditawarkan diantaranya oleh lembaga perbankan syari’ah.
Menurut Muhammad Djumhana dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perbankan Di Indonesia Lembaga”, perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai nilai strategis dalam dunia perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut berfungsi sebagai perantara pihak-pihak yang kekurangan dana (lacks of funds) dengan pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds). Dengan demikian, lembaga perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan, dan berbagai jasa yang diberikan oleh bank, melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.
Bank yang terdapat di Indonesia sekarang ini tidak hanya yang beroperasi berdasarkan prinsip konvensional saja. Prinsip bank berdasarkan syari’ah merupakan salah satu bentuk jasa perbankan, yang baru mendapatkan pengakuan secara formil yuridis setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Sehingga bank berdasarkan prinsip Islam ini mempunyai fungsi yang sama seperti bank konvensional yang telah ada yaitu sebagai lembaga perantara pihak-pihak yang kekurangan dana dengan pihak-pihak yang kelebihan dana (intermediary financial institution). Namun menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang membedakan adalah dalam cara pengoperasiannya, dimana bank syari’ah tidak mengenal sistem bunga dan menggunakan sistem bagi hasil bagi para nasabahnya.
Menurut Muhammad Amin Suma, dalam bukunya “Ekonomi Syariah Suatu Alternatif Sistem Ekonomi Konvensional”, konsep dari sistem ekonomi syari’ah adalah, meletakkan nilai-nilai islam sebagai konsep dasar dan landasan dalam aktivitas perekonomian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat lahir dan bathin. Lembaga perbankan dalam syariah islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa “maa laa yatimm al-wajib illa bi hi fa huwa wajib” yang berarti sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah termasuk melakukan kegiatan ekonomi adalah wajib adanya, oleh karena pada saat ini kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun menjadi wajib untuk diadakan.
Salah satu jasa perbankan syari’ah yang ditawarkan adalah jasa pembiayaan Ijarah, pembiayaan ijarah ini mempunyai konsep yang berbeda dengan konsep kredit pada bank konvensional, pembiayaan Ijarah juga dikatakan sebagai pendorong bagi sektor usaha karena pembiayaan Ijarah mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan jenis pembiayaan syari’ah lainnya. keistimewaan tersebut adalah bahwa untuk memulai kegiatan usahanya, pengusaha tidak perlu memiliki barang modal terlebih dahulu, melainkan dapat melakukan penyewaan kepada bank syari’ah, sehingga pengusaha tidak dibebankan dengan kewajiban menyerahkan jaminan, maka dapat dikatakan bahwa pembiayaan Ijarah lebih menarik dibandingkan jenis pembiayaan lainnya seperti Mudharabah dan Musyarakah.
Pembiayaan ijarah dengan akad sewa-menyewa pada bank syari’ah merupakan akad yang sangat fleksibel, sedangkan dalam penerapannya sangat meringankan dan memberi kemudahan bagi para nasabahnya. Nasabah yang memerlukan suatu barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan konsumtif atau bisnis, tetapi tidak harus memiliki barang tersebut secara permanen atau membutuhkan barang tetapi tidak dapat membelinya maka dapat menggunakan akad ijarah muntahiya bit tammlik (IMBT). Akad IMBT ialah akad yang memperjanjikan antara penyewa dan pemilik sewa terhadap suatu barang namun pada masa akhir sewa maka terjadi perpindahan kepemilikan objek sewa.
Terkait pentingnya pembiayaan dengan menggunakan akad ijarah dalam bisnis perbankan, maka perlu sekiranya untuk mengetahui tentang mekanisme terkait hal tersebut. Mekanisme tersebut harus sesuai dengan prinsip kehati-hatian, guna untuk meningkatkan keefesienan kinerja perbankan.

1.2    Rumusan Masalah
Terkait dengan paparan di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah antara lain adalah :
1.    Apa yang dimaksud dengan ijarah dan bagaimana dasar hukumnya ?
2.    Apa rukun dan syarat ijarah ?
3.    Sebutkan pembagian ijarah ?
4.    Bagaimana pembatalan dan berakhirnya ijarah ?
5.    Jelaskan perbedaan antara ijarah dengan leasing ?
6.    Bagaimana implementasi dari ijarah ?

1.3    Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian ijarah beserta dasar hukumnya.
2.    Untuk mengetahui rukun dan syarat ijarah.
3.    Untuk mengetahui pembagian ijarah.
4.    Untuk mengetahui pembatalan dan berakhirnya ijarah.
5.    Untuk mengetahui perbedaan antara ijarah dengan leasing.
6.    Untuk mengetahui implementasi dari ijarah.

1.4    Manfaat Penulisan
1.    Memahami dengan jelas tentang pengertian ijarah beserta dasar hukumnya
2.    Memahami dengan jelas tentang rukun dan syarat ijarah.
3.    Memahami dengan jelas tentang pembagian ijarah.
4.    Memahami dengan jelas tentang pembalatalan dan berakhirnya ijarah.
5.    Memahami dengan jelas tentang perbedaan antara ijarah dengan leasing.
6.    Memahami dengan jelas tentang implementasi dari ijarah.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Pengertian Ijarah dan Dasar Hukum
Pengertian Ijarah
Menurut etimologi Ijarah berasal dari kata Al-ajru yang artinya al-‘iwadh (ganti atau upah). Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisakan Ijarah. Dibawah ini akan dikemukakan beberapa definisi Ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :
1.    Ulama Hanafiyah :
عقد على المنا فع بعوض
Artinya : “Akad atas sesuatu kemanfaatan dengan pengganti”.
2.    Ulama Asy-Syafi’iyah :
عقد علىى منفعة مقصود ة معلو مة مبا حة قا بلة للبذ ل والاءبا حة بعو ض معلوم
Artinya : “Akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu yang mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
3.    Ulama Malikiyah dan Hambaliyah :
تمليك منا فع شى ء مبا حة مد ة معلو مة بعوض
Artinya: ”Menjadikan milik sesuatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
4.    Jumhur Ulama fiqih berpendapat bahwa Ijarah adalah menjual manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya.
5.    Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa akad Ijarah identik dengan akad jual beli, namun demikian dalam Ijarah kepemilikan barang dibatasi dengan waktu. Secara harfiah, Al-Ijarah bermakna jual beli manfaat dan juga merupakan makna istilah syar’i. Al-Ijarah bisa diartikan sebagai akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang.

Dasar Hukum
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khlaifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah.
Hukum Ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatannya.
Adapun hukum Ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Ijarah fasid sama dengan jual-beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
 Dasar-dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.
Dasar hukum Ijarah dalam Al-Qur’an adalah :
1.    Al-Qur'an surat al-Zukhruf : 32
Artinya : Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu?Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagaian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagaian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.
2.    Al-Qur’an surat al-Baqarah : 233
Artinya : Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
3.    Al-Qur’an surat al-Qashash : 26
Artinya : Salah seorang dari kedua wanita itu berkata : Hai ayahku! Ambilah ia sebagai orang yang bekerja pada (kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambi untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.
4.    Al-Qur’an surat Al-Thalaq : 6
فان ا رضعن لكم فا تو هن اجورهن (الطلاق)

Artinya : “Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berikanlah upah mereka”
Dasar hukum Ijarah dari Al-hadis adalah :
1.    Riwayat Ibnu Majah
اعطو االاجيرا جره قبل ا ن يجف عر قه

Artinya : “Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum krtingatnya kering”.
2.    Riwayat Bukhari dan Muslim
احتجم وا عط الحجا م اجره (رواه البخارى ومسلم )

Artinya : “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”.

Landasan Ijma’nya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (Ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.

2.2    Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun ijarah  antara lain adalah :
1.    Orang yang menyewakan :
Syaratnya :
a.    Baligh
b.    Berakal
c.    Atas kehendak sendiri
2.    Orang yang menyewa
Syaratnya sama dengan orang yang menyewakan.
3.    Barang atau benda yang disewakan
Syaratnya :
a.    Barang yang disewakan harus bermanfaat
b.    Barang yang disewakan  termasuk yang dilarang agama
c.    Barang yang disewakan  harus diketahui jenis, kadar, sifatnya dan ada ketentuan sampai seberapa kemanfaatannya atau ditentukan waktunya.
4.    Imbalan sebagai bayaran (upah)
Syaratnya :
a.    Tidak berkurang nilainya
b.    Harus jelas
c.    Bisa membawa manfaat yang jelas
5.    Akad (Ijab qabul)
Syarat akad ijarah sama dengan akad jual beli dengan tambahan menyebutkan masa waktu yang telah ditentukan.
6.    Ketentuan Objek Ijarah:
a.    Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
b.    Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
c.    Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
d.   Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
e.    Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
f.     Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
g.    Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.
h.    Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
i.      Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

2.3    Pembagian Ijarah
Ijarah terbagi dua, yaitu Ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa, dan Ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.
a.    Sewa-Menyewa
Diperbolehkan Ijarah atas barang mubah seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi dilarang Ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
Cara memanfaatkan barang sewaan.
§  Sewa Rumah
Jika seseorang menyewa rumah, dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang lain, bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan kepada orang lain.
§  Sewa tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa yang akan didirikan disana. Jika tidak dijelaskan, Ijarah dipandang rusak.
§  Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus dijelaskan salah satu diantara dua hal, yaitu waktu dan tempat. Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut.
Perbaikan barang sewaan.
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, seperti pintu rusak atau dinding jebol dan lain-lain. Pemiliknya lah yang berkewajiban memperbaikinya, tetapi ia tidak boleh dipaksa sebab pemilik barang tidak boleh dipaksakan untuk memperbaiki barangnya sendiri. Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap suka rela. Ada pun hal-hal kecil, seperti membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.
Kewajiban penyewa setelah habis masa sewa
§  Menyerahkan kunci jika yang disewa ruamh.
§  Jika yang disewakan kendaraan, ia harus menyimpannya kembali ditempat asalnya.
b.    Upah-mengupah
Upah-mengupah atau Ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahit pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi dua, yaitu :
§  Ijarah khusus
Ijarah khusus yaitu Ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberi upah.
§  Ijarah Musytarik
Ijarah musytarik yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan orang lain.

2.4    Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak mebolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh. Agama menghendaki agar dakam pelaksanaan Ijarah itu senantiasa diperhatikan ketentuan-ketentuan yang bisa menjamin pelaksanaannya yang tidak merugikan salah satu pihak pun serta terpelihara pula maksud-maksud mulia yang diinginkan agama.                
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut :
a.    Terjadi cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
b.    Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
c.    Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
d.   Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
e.    Menurut Hanafiyah, boleh fasakh Ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.
Para ulama’ fiqh menyatakan bahwa akad Al-Ijarah akan berakhir apabila :
a.    Obyeknya hilang  atau musnah, sebagai contoh, serperti rumah yang terbakar.
b.    Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu adalah rumah, maka rumah itu dikembalikan pada pemiliknya, dan apabila yang disewakan itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama’ fiqh.
c.    Menurut ulama’ Hanafiah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad al-ijarah, menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama’, akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
d.   Menurut ulama’ Hanafiah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, maka akadnya batal. Akan tetapi, menurut jumhur ulama’, uzur yang boleh membatalkan akad ijarah hanyalah apabila obyeknya mengandung cacat atau kemanfaatan yang dituju telah hilang.
e.    Mazhab Hambali berpendapat bahwa ketika Ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.

2.5    Perbedaan Ijarah dengan Leasing
                   I j a r a h
             L e a s i n g
Objeknya berupa :
Manfaat barang + jasa
Sistem pembayaran
1.    Bentuk tetap
2.    Bentuk tidak tetap
Kepemilikan :
1.    Tidak dimiliki ketika kontrak habis
2.    Dijanjikan untuk dijual/dihibahkan di awal periode kontrak.
Lease purchase /sewa – beli :
Haram karena gharar (antara sewa dan beli).
Objeknya  :
Manfaat barang saja
Sistem pembayaran
-     - Bentuk tetap

Kepemilikan
1.    Tidak dimiliki ketika kontrak habis
2.    Kesempatan untuk dibeli pada akhir kontrak

Lease purchase : tidak ada masalah.

2.6    Implementasi Akad Ijarah
Akad-akad yang dipergunakan oleh perbankan syari’ah di Indonesia dalam operasinya merupakan akad-akad yang tidak menimbulkan kontroversi yang disepakati oleh sebagian besar ulama dan sudah sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diterapkan dalam produk dan instrumen keuangan syari’ah. Akad-akad tersebut meliputi akad-akad untuk pendanaan, pembiayaan, jasa produk, jasa operasional, dan jasa investasi. Terkait dengan itu, praktek pembiayaan ijarah dan ijarah muntahiya bit tamlik dalam lembaga perbankan syari’ah.
 1. Ijarah  
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Jadi dalam akad ijarah yang dibuat oleh nasabah dan pihak perbankan syariah tidak ada unsur transfer of tittle, yang ada hanyalah kesepakatan untuk memanfaatkan suatu barang atau jasa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada Penjelasan Pasal 19 huruf f, akad ijarah merupakan akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Pada PBI No. 9/19/PBI/2007 menyebutkan ijarah sebagai transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik objek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan.
Tertanggal 17 Maret 2008 Bank Indonesia mengeluarkan surat edaran No. 10/14/DPBS yang mengatakan bahwa dalam memberikan pembiayaan ijarah, Bank Syari’ah atau Unit Usaha Syariah (UUS) harus memenuhi langkah berikut ini, (a) Bank bertindak sebagai pemilik dan/atau pihak yang mempunyai hak penguasaan atas objek  sewa baik berupa barang atau jasa, yang menyewakan objek sewa dimaksud kepada nasabah sesuai kesepakatan, (b) Barang dalam transaksi ijarah adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang dapat diambil manfaat sewanya, (c) Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar ijarah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah, (d) Bank wajib melakukan analisis atas rencana pembiayaan atas dasar ijarah kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha, keuangan dan/atau prospek usaha, (e) Objek sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk besarnya nilai sewa dan jangka waktunya, (f) Bank sebagai pihak yang menyediakan objek sewa, wajib menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas objek sewa serta ketepatan waktu penyediaan objek sewa sesuai kesepakatan, (g) Bank wajib menyediakan dan untuk merealisasikan penyediaan objek sewa yang dipesan nasabah, (h) Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar ijarah, (i) Pembayaran sewa dapat dilakukan baik dengan angsuran maupun sekaligus, (j) Pembayaran sewa tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang maupun dalam bentuk pembebasan utang, (k) Bank dapat meminta nasabah untuk menjaga keutuhan objek sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan objek sewa sesuai dengan kesepakatan dimana uraian pemeliharaan yang bersifat material dan structural harus dituangkan dalam akad, dan (l) Bank tidak dapat meminta nasabah untuk bertanggungjawab atas kerusakan objek sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran akad atau kelalaian nasabah.
Berdasarkan SOP yang disampaikan oleh Bank Syari’ah, tahapan pelaksanaan ijarah adalah sebagai berikut, (a) adanya permintaan untuk menyewakan barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah kepada bank syari’ah, (b) Wa’ad antara bank dan nasabah untuk menyewa barang dengan harga sewa dan waktu sewa yang disepakati, (c) Bank Syari’ah mencari barang yang diinginkan untuk disewa oleh nasabah, (d) Bank syari’ah menyewa barang tersebut dari pemilik barang, (e) Bank syari’ah membayar sewa di muka secara penuh, (f) Barang diserahterimakan dari pemilik barang kepada bank syari’ah, (g) Akad antara bank dengan nasabah untuk sewa, (h) Nasabah membayar sewa di belakang secara angsuran, (i) Barang diserahterimakan dari bank syari’ah kepada nasabah, dan (j) Pada akhir periode, barang diserahterimakan kembali dari nasabah ke bank syari’ah, yang selanjutnya akan diserahterimakan ke pemilik barang.
Dari proses ijarah tersebut di atas, perlu dicermati bahwa ada beberapa bank yang menggunakan uang muka dalam  transaksi ijarah. Hal itu dikarenakan agar bank memperoleh jaminan bahwa nasabah (penyewa) benar-benar akan menyewa objek sewa tersebut.
Selain Bank Syari’ah sebagai pemberi sewa, di beberapa bank terdapat juga posisi bank sebagai wakil atau menggunakan wakalah. Bank syari’ah mewakilkan pemilik barang (objek sewa) kepada nasabah (penyewa).
2. Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT)
Di atas telah disebutkan bahwa produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan akad sewa-menyewa terdiri dari sewa murni dan sewa yang diakhiri dengan pemindahan hak kepemilikan atau dikenal dengan ijarah muntahiya bit tamlikIjarah muntahia bittamlik (IMBT) pada dasarnya merupakan perpaduan antara sewa menyewa dengan jual beli. Semakin jelas dan kuat komitmen untuk membeli barang di awal akad, maka hakikat IMBT pada dasarnya lebih bernuansa jual beli. Namun, apabila komitmen untuk membeli barang di awal akad tidak begitu kuat dan jelas (walaupun opsi membeli tetap terbuka), maka hakikat IMBT akan lebih bernuansa ijarah.
Dari sisi ijarah, perbedaan IMBT terletak dari adanya opsi untuk membeli barang dimaksud pada akhir periode. Sedangkan dari sisi jual beli, perbedaan IMBT terletak pada adanya penggunaan manfaat barang dimaksud terlebih dahulu melalui akad sewa (ijarah), sebelum transaksi jual beli dilakukan.
Secara teknis, implementasi IMBT juga diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPBS pada tanggal 17 Maret 2008 yaitu, (a) Bank sebagai pemilik objek sewa juga bertindak sebagai pemberi janji (wa`ad) untuk memberikan opsi pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa kepada nasabah penyewa sesuai kesepakatan, (b) Bank hanya dapat memberikan janji (wa`ad) untuk mengalihkan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa setelah objek sewa secara prinsip dimiliki oleh bank, (c) Bank dan nasabah harus menuangkan kesepakatan adanya opsi pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa dalam bentuk tertulis, (d) Pelaksanaan pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa dapat dilakukan setelah masa sewa disepakati selesai oleh Bank dan nasabah penyewa, dan (e) Dalam hal nasabah penyewa mengambil opsi pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa, maka bank wajib mengalihkan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa kepada nasabah yang dilakukan pada saat tertentu dalam periode atau pada akhir periode pembiayaan atas dasar akad IMBT.
Sedangkan berdasarkan SOP yang disampaikan oleh Bank syari’ah, tahapan pelaksanaan IMBT adalah sebagai berikut, (a) Adanya permintaan untuk menyewa beli barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah kepada bank syari’ah, (b) Wa’adantara bank dan nasabah untuk menyewa beli  barang dengan harga sewa dan waktu sewa yang disepakati, (c) Bank Syari’ah mencari barang yang diinginkan untuk disewa beli oleh nasabah, (d) Bank syari’ah membeli barang tersebut dari pemilik barang, (e) Bank syari’ah membayar tunai barang tersebut, (f) Barang diserahterimakan dari pemilik barang kepada bank syari’ah, (g) Akad antara bank dengan nasabah untuk sewa beli, (h) Nasabah membayar sewa di belakang secara angsuran, (i) Barang diserahterimakan dari bank syari’ah kepada nasabah, dan (j) Pada akhir periode, dilakukan jual beli antara bank syari’ah dan nasabah.
Perlu diperhatikan bahwa dalam praktek di beberapa bank, komitmen untuk membeli barang pada akhir periode atau dengan menggunakan IMBT yang dituang dalamwa`ad, cenderung bersifat keharusan atau wajib bagi nasabah.
 
BAB III
PENUTUP
3.1    Simpulan
Al-Ijarah adalah salah satu kegiatan mu’amalah, yaitu sewa menyewa pada sebuah kemanfaatan yang umum, dengan imbalan yang telah disepakati bersama. Banyak dalil yang menjadi dasar hukum diperbolehkannya ijarah, salah satunya adalah QS. At-Thalaq ayat 6 dan hadits rasul yang berbunyi :
مَنِ اسْتَجَارَ أَجِيْرًا فَلْيَعْلَمْهُ أَجْرَهُ (رواه عبد الرزاق و البيهاقى)
Artinya : ”Siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah ia beritahu upahnya” (HR. Abd. Ar-Razaq dan Al-Baihaqi).
Rukun dan syarat antara lain adalah :
1.    Orang yang menyewakan :
Syaratnya :
a.    Baligh
b.    Berakal
c.    Atas kehendak sendiri
2.    Orang yang menyewa, syaratnya sama dengan orang yang menyewakan.
3.    Barang yang disewakan
Syaratnya :
a.    Bermanfaat
b.    Tidak dilarang agama
c.    Diketahui jenis, kadar, sifatnya dan ada ketentuan berapa lama barang tersebut disewa.
4.    Imbalan
Syaratnya :
a.    Harus jelas
b.    Tidak berkurang nilainya
c.    Bermanfaat
5.    Akad
Syaratnya sama dengan akad jual beli, ditambah dengan masa waktu yang disepakati.

6.    Ketentuan Objek Ijarah:
a.    Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
b.    Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
c.    Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
d.   Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
e.    Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
f.     Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
g.    Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.
h.    Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
i.      Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Berakhirnya akad
a.    Obyeknya hilang
b.    Tenggang Waktunya habis
c.    Salah satu orang yang berakad meninggal (menurut ulama’ hanafiah)
d.   Uzur di salah satu pihak (menurut ulama’ Hanafiah) menurut jumhur ulama’, uzurnya hanyalah apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju telah hilang.

3.2    Saran
1.    Agar masyarakat lebih memperhatikan lagi tentang perjanjian sewa guna manfaat sehingga tidak ada permasalahan di kemudian hari.
2.    Agar masyarakat lebih memilih sistem ijarah daripada leasing sebab ijarah lebih jelas akadnya dan lebih menguntungkan.
3.    Agar pihak perbankan lebih kritis lagi untuk sistem perbankannya dalam hal persewaan dengan menerapkan ijarah guna menhindari kedholiman terhadap nasabah/peminjam sehingga bank akan lebih dipercaya masyarakat.

 DAFTAR PUSTAKA
Haroen, Nasrun, Fiqh Mu’amalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru, Algesindo, 2009.
Labib M – Harbiawati, Risalah Fiqh Islam, Surabaya : Bintang Usaha Jaya, 2006.
Ascarya. 2007. Akad dan Produk Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Azis, 1992. Mengembangkan Bank Islam di Indonesia. Jakarta: bangkit.
Bank indonesia. 1999. Petunjuk pelaksanaan pembukaan kantor bank syariah. Jakarta: Bank Indonesia.
Karim, Adiwarman A. 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Meida, Fanny. 2007. Makalah Ijarah.
Nazir, habib. Hasan, Muhamad. 2004. Enslikopedi Ekonomi Syariah. Bandung: Kaki Langit.
Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqih al- Sunnah 3 Beirut. Dari al- Kitab AL- Arabyt, 1983.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
________, Al- Syarifain, Khadim al- Haramain. Al-Qur’an dan Terjemahnya.
http://www.fifkredit.com/fif/produk-layanan/syariah.php/
http://alijarahindonesia.com/
http://muhaiminkhair.wordpress.com/2010/04/29/perusahaan-pembiayaan-syariah-di-indonesia-sebuah-tinjauan-analisis-terhadap-perusahaan-pembiayaan-pt-fif-syariah/
http://alimuhayatsyahbloger.blogspot.com/2011/01/mengenal-lembaga-pembiayaan-syariah.html/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar