BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Perkembangan industri yang makin
meningkat membawa dampak positif bagi pertumbuhan perekonomian. Salah satu sektor
industri yang menjadi pilar penyangga perekonomian di Indonesia adalah sektor
Usaha Kecil Menengah (UKM). Peran UKM di Indonesia sangat besar, terutama pada
tahun 1997 UKM mampu bertahan dan menyelamatkan perekonomian bangsa pada saat
dilanda krisis ekonomi (Firdausy, 2003).
Dalam mengatasi krisis ekonomi 1997, MPR
RI membuat Ketetapan MPR Nomor XVI Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi Dalam
Rangka Demokrasi Ekonomi, yang menyatakan bahwa ekonomi nasional diarahkan
untuk menciptakan struktur ekonomi nasional agar terwujud pengusaha menengah
yang kuat dan besar jumlahnya, serta terbentuknya keterkaitan dan kemitraan
yang saling menguntungkan antar pelaku ekonomi dan saling memperkuat untuk
mewujudkan demokrasi ekonomi dan efisiensi nasional yang berdaya saing tinggi
(Tim Balitbangkop PK dan M, 1999).
Selain itu, dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004 - 2009 menyebutkan bahwa sasaran
Pembangunan Nasional adalah “Terlaksananya pemberdayaan masyarakat dan seluruh
kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah dan koperasi
dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan (Perpres RI No. 7 tahun 2005).
Udjijanto dalam Ahmad Purnomo (2002:4)
menyebutkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM pada
tahun 2000 bahwa perolehan PDB Indonesia sebesar 63,5%. Hal lain yang menarik perhatian
adalah dalam suasana minimnya lapangan kerja, UKM Indonesia menyerap sekitar
73,6 juta pekerja. Kondisi tersebut menjadikan UKM sebagai salah satu sektor
strategis yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pengembangannya.
Dengan adanya muatan local produk UKM
yang cukup tinggi, maka diharapkan profit yang diperoleh UKM besar sehingga
keuntungan nasional dari produk UKM akan besar pula. Dalam menghasilkan profit
yang besar, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara efisiensi melalui
penerapan kerjasama antar pelaku usaha yang dilakukan pada rantai nilai
aktivitas produksi.
Terjalinnya kerjasama antar pelaku usaha
pada sektor industri tersebut diharapkan mampu mewujudkan efisiensi di
lingkungan industri, baik efisiensi ekonomi maupun perbaikan dalam hal sosial
organisasi atau perbaikan manajemen usaha. Kerjasama yang diharapkan dalam
upaya pencapaian efisiensi adalah kerjasama antar pelaku usaha dalam manajemen
usahanya pada rantai nilai aktivitas produksi, mlai dari aliran pasokan bahan
baku, proses produksi hingga distribusi pemasaran produk.
Salah satu contoh bentuk kerjasama yang
terjalin antar pelaku usaha adalah kerjasama dalam pengadaan bahan baku secara
kolektif. Pengadaan bahan baku secara kolektif memungkinkan pelaku usaha
mendapatkan bahan baku dengan kualitas yang sama dengan harga yang lebih murah.
Keuntungan dari pengadaan bahan baku kolektif sendiri adalah terjadinya
penurunan cost production, sehingga biaya operasional dapat
diminimalkan.
Contoh lain yang mendasari pentingnya
kerjasama antar pelaku usaha adalah adanya pertukaran informasi dan teknologi
antar pelaku usaha melalui kerjasama dalam klaster. Pelatihan dan workshop dalam
klaster merupakan salah satu sarana terjadinya pertukaran informasi dan
teknologi. Dengan demikian kualitas SDM dapat berkembang dan para pelaku usaha
memperoleh informasi teknologi produksi baru yang mampu mengefisienkan kinerja produksi.
Hubungan kerjasama antar pelaku usaha
dalam klaster sendiri dapat berbentuk sistem subkontrak. Pada umumnya sistem
subkontrak ini merupakan sistem dimana UKM saling bekerjasama dan bersifat
saling menguntungkan. UKM berskala sedang atau besar merupakan peng-order yang
memberikan order kepada UKM berskala kecil. Produk yang dihasilkan oleh
UKM berskala kecil tersebut nantinya akan dikemas dan dipasarkan oleh UKM
bersakala besar atau sedang. Adanya sistem subkontrak ini dapat
membangkitkan UKM berskala kecil sehingga mampu bertahan.
1.2 Rumusan
Masalah
Pengembangan
usaha kecil dan menengah merupakan dasar perekonomian dalam upaya perbaikan
perekonomian nasional. Diantara usaha kecil dan menengah, usaha batik mempunyai
karakteristik yang sangat khusus dan
merupakan kebudayaan Indonesia yang tetap bertahan secara konsisten.
Kota Pekalongan merupakan pusat kerajinan batik dan sentra industri batik di Indonesia.
Dilihat dari
sisi investasi industri batik di Pekalongan mencapai 51,85% dari total
investasi sektor industri batik di Jawa Tengah tetapi hasil yang diproduksi hanya
mencapai 29,67% (produksi dalam rupiah) dari seluruh total produksi industri batik
di Jawa Tengah, kondisi ini membuktikan bahwa produksi batik di Pekalongan belum
optimal walaupun dilihat dari industri fisiknya memiliki ciri khas yang khusus dan
industrinya cenderung telah inovatif.
Oleh karena itu untuk
meningkatkan produksi dan efesiensi biaya dapat dilakukan dengan kerjasama
antar UKM dalam proses produksi di daerah Pekalongan. Berdasarkan uraian di
atas maka rumusan masalah ini adalah “Bagaimana Sitem Kerjasama antar UKM Batik
di Daerah Pekalongan dalam Memproduksi Batik secara optimal”.
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk memaparkan bahwa terdapat pengaruh kerjasama
antar UKM Batik dalam mencapai efisiensi biaya produksi dan peningkatan
produksi Batik di daerah Pekalongan, Jawa Tengah sehingga menjadi sentra usaha
Batik yang optimal.
1.4 Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat
yang diharapkan penulis dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Makalah
ini diharapkan dapat memberikan masukan dan manfaat bagi pengusaha UKM Batik dalam
meningkatkan produksi yang optimal dengan biaya se-efisien mungkin melalui
kerjasama antar UKM Batik.
2.
Makalah
ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah agar lebih peduli
terhadap UKM demi peningkatan UKM dalam menopang pendapatan daerah maupun PDB.
3.
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah dalam menentukan
kebijakan terutama berkaitan dengan pengembangan UKM.
BAB II
LANDASAN
TEORI
2.1 Definisi
UKM
Menurut UU RI
No. 9 Tahun 1995 Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil
dan berbentuk usaha perseorangan yang bertujuan untuk memproduksi barang
ataupun jasa dan mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta dan
mempunyai nilai penjualan tahunan sebesar satu milyar rupiah atau kurang. Usaha
menengah adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau badan,
yang bertujuan untuk memproduksi barang/jasa untuk diperniagakan secara
komersial, untuk sektor industri memiliki total asset paling banyak Rp. 5
milyar dan non industri yang mempunyai nilai penjualan per tahun lebih besar
dari satu milyar namun kurang dari Rp. 50 milyar. Definisi tersebut yang diacu
oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag), Bank Indonesia,
Departemen Keuangan maupun Depkop dan UKM yang sekarang menjadi Sekretariat
Menteri Koperasi dan UKM. Badan Pusat Statistik (BPS) membuat batasan UKM
didasarkan tenaga kerja (tidak termasuk pemilik), yaitu kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh perseorangan atau badan, yang bertujuan untuk memproduksi
barang/jasa untuk diperniagakan secara komersil, dengan jumlah tenaga kerja
dibawah 100 orang.
2.2 Teori
Kerjasama
Argent dalam Santosa (1992:29) menyatakan bahwa kerjasama
merupakan usaha terkoordinasi di antara anggota kelompok atau masyarakat
yang diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Lebih lanjut Santosa (1992:
29-30) menyatakan bahwa kerjasama adalah suatu bentuk interaksi sosial di mana
tujuan anggota kelompok yang satu berkaitan erat dengan tujuan anggota kelompok
yang lain atau tujuan kelompok secara keseluruhan sehingga seseorang individu
hanya dapat mencapai tujuan bila individu lain juga mencapai tujuan.
Menurut Zainudin dalam website
www.etd.library.ums.ac.id kerjasama merupakan
Kepedulian satu orang atau satu pihak dengan orang atau pihak lain yang tercermin dalam suatu kegiatan yang menguntungkan semua pihak dengan prinsip saling percaya, menghargai dan adanya norma yang mengatur, makna kerjasama dalam hal ini adalah kerjasama dalam konteks organisasi, yaitu kerja antar anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi (seluruh anggota).
Kepedulian satu orang atau satu pihak dengan orang atau pihak lain yang tercermin dalam suatu kegiatan yang menguntungkan semua pihak dengan prinsip saling percaya, menghargai dan adanya norma yang mengatur, makna kerjasama dalam hal ini adalah kerjasama dalam konteks organisasi, yaitu kerja antar anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi (seluruh anggota).
Sedangkan Menurut Pamudji dalam bukunya
yang berjudul “Kerjasama Antar Daerah” (1985:12-13) Kerjasama pada hakekatnya mengindikasikan adanya dua
pihak atau lebih yang berinteraksi secara dinamis untuk mencapai suatu tujuan
bersama. Dalam pengertian itu terkandung tiga unsur pokok yang melekat pada
suatu kerangka kerjasama, yaitu unsur dua pihak atau lebih, unsur interaksi dan
unsur tujuan bersama. Jika satu unsur tersebut tidak termuat dalam satu obyek
yang dikaji, dapat dianggap bahwa pada obyek itu tidak terdapat kerjasama.
Unsur dua pihak, selalu menggambarkan
suatu himpunan yang satu sama lain saling mempengaruhi sehingga interaksi untuk
mewujudkan tujuan bersama penting dilakukan. Apabila hubungan atau interaksi
itu tidak ditujukan pada terpenuhinya kepentingan masing-masing pihak, maka
hubungan yang dimaksud bukanlah suatu kerjasama. Suatu interaksi meskipun
bersifat dinamis, tidak selalu berarti kerjasama. Suatu interaksi yang
ditujukan untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak lain yang terlibat dalam
proses interaksi, juga bukan suatu kerjasama. Kerjasama senantiasa menempatkan
pihak-pihak yang berinteraksi pada posisi yang seimbang, serasi dan selaras.
2.3 Teori Produksi
Produksi adalah
perubahan dari dua atau lebih input (sumber daya) menjadi satu atau lebih
output (produk). Menurut Tati Suhartati dan Fathorozi (2003:77) produksi
merupakan hasil akhir dari proses aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan
beberapa masukan atau input. Dengan demikian kegiatan produksi adalah
mengkombinasikan berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output.
Sasaran dari
teori produksi adalah untuk menentukan tingkat produksi yang optimal dengan
sumber daya yang ada. Gunawan dan Lanang A. Iswara (1987:6) mengatakan bahwa
produksi mencakup setiap pekerjaan yang menciptakan atau menambah nilai dan
guna suatu barang atau jasa. Agar produksi dapat dijalankan untuk menciptakan
hasil, maka diperlukan beberapa faktor produksi (input). Faktor-faktor input
perlu diproses bersamasama untuk menghasilkan output dalam suatu proses
produksi (metode produksi).
Lebih lanjut
Lipsey (1995:426) mengatakan bahwa teori produksi meliputi 1). Jangka pendek
dimana apabila seorang produsen menggunakan faktor produksi maka ada yang
bersifat tetap dan variabel. 2). Jangka panjang apabila semua input yang
dipergunakan adalah input tetap dan belum ada perubahan teknologi. 3). jangka
sangat panjang dimana semua input yang dipergunakan berubah disertai dengan
adanya perubahan teknologi. Dalam hal ini periode waktu tersebut tidak dapat
diukur dalam bentuk kalender atau penanggalan.
2.4 Fungsi
Produksi
Fungsi produksi
menurut Boediono (1992:64) adalah suatu fungsi atau persamaan yang menunjukkan
hubungan teknis antara tingkat output dan tingkat kombinasi dari penggunaan
input-input. Salvatore (1996:97) menyatakan bahwa fungsi produksi untuk setiap
komoditi adalah suatu persamaan, tabel atau grafik yang menunjukkan jumlah
(maksimum) komoditi yang dapat diproduksi per unit waktu untuk setiap kombinasi
input alternatif bila menggunakan teknik produksi terbaik yang tersedia.
Menurut Lipsey
(1995:129) fungsi produksi adalah hubungan antara input yang dipergunakan dalam
proses produksi dengan kuantitas yang dihasilkan. Lebih lanjut Sadono Sukirno
(2003; 194) menyatakan bahwa fungsi produksi adalah kaitan di antara
faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakan.
Setiap kegiatan
produksi memerlukan faktor-faktor produksi. Besarnya hasil produksi (Q)
tergantung dari jumlah dan kombinasi input misalnya antara kapital (K) dan
tenaga kerja (L) yang digunakan. Hubungan teknis antara faktor-faktor produksi
dengan jumlah produksi dinyatakan dalam suatu fungsi produksi : Q = f (K, L). Fungsi
tersebut memperlihatkan bahwa jumlah maksimum barang atau jasa yang dapat
diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan tenaga
kerja (L) (Nicholson, 1995:200).
2.5 Faktor
Produksi
Sadono Sukirno
(2003:192) mengatakan bahwa faktor produksi sering disebut dengan korbanan
produksi untuk menghasilkan produksi. Faktor produksi dikenal dengan istilah
input dan jumlah produksi disebut dengan output. Input merupakan hal yang
mutlak untuk menghasilkan produksi. Dalam proses produksi ini seorang pengusaha
dituntut untuk mampu mengkombinasikan beberapa input sehingga dapat
menghasilkan produksi yang optimal.
Untuk mempermudah
analisis, faktor produksi dianggap tetap kecuali tenaga kerja sehingga pengaruh
faktor produksi terhadap kuantitas produksi dapat diketahui secara jelas. Dapat
disimpulkan bahwa kuantitas produksi dipengaruhi oleh banyaknya tenaga kerja
yang dipergunakan. Banyaknya faktor produksi ini tidak dipengaruhi oleh
banyaknya hasil produksi.
2.5.1 Tenaga Kerja
Faktor produksi
tenaga kerja merupakan faktor yang penting dan perlu diperhitungkan dalam
proses produksi, baik dalam kuantitas dan kualitas. Jumlah tenaga kerja yang
diperlukan harus disesuaikan dengan kebutuhan sampai tingkat tertentu hingga
dicapai hasil yang optimal. Menurut UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat.
BPS (1997:52)
menyatakan bahwa tenaga kerja terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan
kerja. Yang masuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (10 tahun atau lebih)
yang bekerja atau punya pekerjaan sementara tidak bekerja dan yang mencari
pekerjaan. Yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk (10 tahun atau
lebih) yang kegiatannya tidak bekerja maupun mencari pekerjaan atau penduduk
usia kerja dengan kegiatan sekolah, mengurus rumah tangga maupun lainnya
(pensiunan, cacat jasmani).
2.5.2 Bahan Baku
Menurut Sukanto
Rekso Hadiprojo dan Indriyo Gito Sudarmo (1998:1999) mengatakan bahwa bahan
baku merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Kekurangan bahan
dasar yang tersedia dapat berakibat terhentinya proses produksi karena habisnya
bahan baku untuk diproses. Tersedianya bahan dasar yang cukup merupakan faktor
penting guna menjamin kelancaran proses produksi. Oleh karena itu perlu
diadakan perencanaan dan pengaturan terhadap bahan dasar ini baik mengenai kuantitas
maupun kualitasnya. Dalam hal ini cara penyediaan bahan baku ada 2 alternatif,
yaitu :
1.
Dibeli sekaligus jumlah seluruh kebutuhan tersebut kemudian disimpan di
gudang, setiap kali dibutuhkan oleh proses produksi dapat diambil dari gudang.
2.
Berusaha memenuhi kebutuhan bahan dasar tersebut dengan membeli berkali-kali
dalam jumlah yang kecil dalam setiap kali pembelian.
Menurut Agus
Ahyari (1989:150) ada beberapa kelemahan apabila perusahaan melakukan
persediaan bahan baku yang terlalu kecil, antara lain:
1.
Harga beli dari bahan baku tersebut menjadi lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan pembelian normal dari perusahaan yang bersangkutan.
2.
Apabila kehabisan bahan baku akan mengganggu kelancaran proses produksi.
3.
Frekuensi pembelian bahan baku semakin besar mengakibatkan ongkos semakin
besar.
Lebih lanjut
Agus Ahyari mengatakan bahwa beberapa kerugian yang akan ditanggung oleh
perusahaan berkaitan dengan persediaan bahan baku yang terlalu besar, antara
lain :
1.
Biaya penyimpanan atau pergudangan yang akan menjadi tanggungan perusahaan
yang bersangkutan akan menjadi semakin besar.
2.
Penyelenggaraan persediaan bahan baku yang terlalu besar akan berarti
perusahaan tersebut mempersiapkan dana yang cukup besar.
3.
Tingginya biaya persediaan bahan baku, mengakibatkan berkurangnya dana
untuk pembiayaan dan investasi pada bidang lain.
4.
Penyimpanan yang terlalu lama dapat menimbulkan kerusakan bahan tersebut.
5.
Apabila bahan dasar tersebut terjadi penurunan harga, maka perusahaan
mengalami kerugian.
Dapat
disimpulkan bahwa penyediaan bahan baku harus tepat sesuai kebutuhan produksi
sehingga tidak terjadi kekurangan atau kelebihan yang menimbulkan biaya
overhead dan/atau kerusakan bahan akibat terlalu lama disimpan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Keadaan
Geografis Kota Pekalongan
Secara geografis
Kota Pekalongan terletak di dataran rendah pantai utara pulau Jawa, dengan
ketinggian lebih kurang 1 meter di atas permukaan laut dan posisi geografis
antara 6o50’42” – 6o55’44” Lintang Selatan dan 109o37’55”
– 109o42’19” Bujur Timur. Letak wilayah yang berada pada daerah
khatulistiwa menjadikan Kota Pekalongan memiliki iklim tropis dengan dua musim
yaitu musim hujan dan musim panas.
Kota Pekalongan
memiliki luas wilayah 45,25 km2 yang terbagi dalam empat kecamatan
yaitu Kecamatan Pekalongan Utara, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kecamatan
Pekalongan Barat dan Kecamatan Pekalongan Timur dan terdiri dari 46 kelurahan,
dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : sebelah utara laut jawa, sebelah
selatan Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang, sebelah barat Kabupaten
Pekalongan dan sebelah timur Kabupaten Batang.
Jumlah penduduk
Kota Pekalongan pada tahun 2004 adalah 264.932 jiwa, terdiri dari 130.983
laki-laki (49,44%) dan 133.949 perempuan (50,56%). Kepadatan penduduk Kota
Pekalongan cenderung meningkat seiring dengan kenaikan jumlah penduduk.
3.2 Sekilas Sentra UKM Batik Kota Pekalongan
Pekalongan
dikenal dengan sebutan kota batik. Masyarakatnya sebagian besar berkecimpung di
bidang usaha pembatikan. Sentra usaha kecil menengah batik Pekalongan terdapat
di Kelurahan Pasirsari Kecamatan Pekalongan Barat dan Kelurahan Jenggot
Kecamatan Pekalongan Selatan. Di sentra tersebut terdapat 60 pengusaha batik
dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 855 orang. Modal yang digunakan oleh
pengusaha sebagian besar adalah modal sendiri.
Dinamika para
pengusaha batik dalam memproduksi berbagai jenis produk berkaitan dengan
peranan para usahawan batik dalam upaya mereka mencari bentuk, jenis dan motif
seiring dengan makin berkembangnya motif yang sesuai dengan minat dan daya beli
konsumen. Adapun intensitas produksi batik cap berorientasi pada pesanan.
Standar upah bagi tenaga kerja adalah sebesar Rp. 150.000/minggu untuk
laki-laki dan perempuan sebesar Rp. 80.000/minggu. Upah umumnya diberikan atas
dasar mingguan yang jatuh pada setiap hari kamis atau dikenal dengan istilah
kamisan sedangkan hari libur yaitu pada hari Jumat. Jam kerja dimulai dari jam
08.00 s/d 16.00 wib.
Sumber bahan
baku baik untuk bahan baku batik maupun untuk pewarnaan sampai saat ini relatif
tidak sulit didapatkan karena hampir seluruh kebutuhan dapat dipenuhi oleh
pasar lokal baik melalui toko eceran maupun pasar grosir. Untuk alat batik cap
terbagi 2 (dua) jenis yaitu cap tembaga dan cap kayu. Untuk cap kayu harganya
lebih murah dibandingkan dengan cap tembaga namun untuk kualitas lebih bagus
jika menggunakan cap tembaga. Adapun harga cap tembaga berkisar Rp. 200.000 s/d
500.000 per buah. Berbagai jenis dan model Cap tembaga tersebut mudah
didapatkan di pasar Landungsari Kota Pekalongan.
Lokasi usaha
batik baik untuk batik tulis maupun cap, berlokasi di sekitar rumah. Tempat usaha
batik umumnya berlokasi di pendopo belakang rumah atau di samping/di sisi kiri
atau kanan rumah. Penempatan usaha seperti ini erat hubungannya dengan desain
rumah serta keberadaan sarana penunjang misalnya sumber air untuk menunjang
keperluan perendaman bahan baku, pembatikan, perebusan, pencucian/pembilasan
dan penjemuran.
3.3 Proses Produksi Batik
Saat ini dikenal
ada empat macam proses pembuatan batik yang baku, yaitu secara tradisional,
kesikan, dan pekalongan/pesisiran, dan batik cap yaitu :
1.
Proses Batik Tradisional yaitu proses membatik yang menggunakan warna biru
indigo dan soga dengan tahapan sebagai berikut :
a.
Membatik, yaitu
membuat pola pada mori dengan menempelkan lilin batik menggunakan canthing
tulis.
b.
Nembok, yaitu menutup
bagian-bagian pola yang akan dibiarkan tetap bewarna putih dengan lilin batik.
c.
Medel, yaitu mencelup
mori yang sudah diberi lilin batik ke dalam warna biru.
d.
Ngerok dan Nggirah, yaitu menghilangkan lilin dari bagian-bagian yang akan diberi warna soga
(cokelat).
e.
Mbironi, yaitu menutup
bagian-bagian yang akan tetap berwarna biru dan tempat-tempat yang terdapat
cecek.
f.
Nyoga, yaitu mencelup
mori ke dalam larutan soga (coklat).
g.
Nglorod, yaitu
menghilangkan lilin batik dengan air mendidih. Tahap ini sekaligus merupakan
tahap terakhir dari proses batik tradisional.
2.
Proses Batik Kesikan yaitu dengan proses lorodan, yakni menggunakan cara nglorod
pada tahap ngerok dalam proses tradisional. Adapun urutan pengerjaannya sebagai
berikut :
a.
Membatik
b.
Nembok
c.
Medel
d.
Nglorod, yaitu
menghilangkan semua lilin yang menempel pada mori menjadi kelengan.
e.
Ngesik, yaitu menutup
bagian pola yang akan dibiarkan tetap bewarna biru serta bagian yang akan tetap
bewarna putih dan cecek.
f.
Nyoga
g.
Nglorod, tahap ini
merupakan tahap terakhir dari proses batik kesikan.
3.
Proses Pekalongan/Pesisiran yaitu proses membatik dengan pewarnaan tidak
seluruhnya dilaksanakan dengan pencelupan. Pewarnaan ini dilakukan pada bagian
tertentu. Pola pewarnaan cukup dengan “menyapukan larutan zat pewarna (coletan)”,
sehingga dapat dilakukan pewarnaan secara serentak dengan berbagai macam warna.
Adapun prosesnya sebagai berikut :
a.
Membatik
b.
Nyolet, yaitu memberi
warna pada bagian-bagian tertentu pola dengan menyapukan larutan zat warna pada
bagian-bagian tersebut.
c.
Nutup, yaitu menutup
bagian yang telah di colet dengan lilin batik.
d.
Ndhasari, yaitu
mencelup latar pola dengan zat pewarna, yang dikehendaki.
e.
Menutup dasaran, yaitu
menutup bagian-bagian latar pola yang sudah diwarnai.
f.
Medel
g.
Nglorod
h.
Nutup dan granitan, yaitu menutup bagian-bagian yang telah diberi warna dan bagian yang akan
dibiarkan tetap putih serta membuat titik-titik putih pada garis-garis di luar
pola yang disebut granit dengan lilin batik.
i.
Nyoga
j.
Nglorod, tahap ini
merupakan tahap terakhir dari proses batik pekalongan/pesisiran.
4.
Proses batik cap yaitu proses membatik dengan menggunakan alat cap. Dalam
proses ini untuk satu siklus produksi batik cap dibutuhkan waktu 1minggu. Adapun
prosesnya sebagai berikut :
a.
Penyiapan bahan baku batik cap (Mori primisima).
b.
Menghilangkan malam bawaan benang bahan baku (pembilasan dengan air
dingin).
c.
Pengeringan/penjemuran.
d.
Penyiapan peralatan dan bahan pewarnaan untuk proses batik cap serta motif
batik cap.
e.
Proses pembatikan cap (proses pewarnaan dapat dilakukan berulang-ulang, umumnya
hanya 2 (dua) warna.
f.
Pelorotan/pembilasan.
g.
Pengeringan.
h.
Pengemasan sampai dengan siap kirim.
3.4 Penggunaan Faktor Produksi
Penyerapan Tenaga Kerja
Jumlah tenaga
kerja yang digunakan oleh setiap pengusaha dalam kegiatan produksi
berbeda-beda. Banyaknya tenaga kerja yang digunakan rata-rata berkisar antara 4
sampai dengan 20 orang.
Penggunaan Kain
Jumlah dalam
penggunaan bahan baku kain untuk kegiatan produksinya, setiap pengusaha
berlainan. Banyaknya penggunaan kain berkisar antara 1000 s/d 15.000 meter.
Penggunaan Lilin Batik.
Para pengusaha
dalam menggunakan malam selama satu bulan bervariasi berkisar antara 25 kg
sampai dengan 800 kg. Penggunaan banyaknya lilin batik atau malam yang
digunakan dalam proses produksi batik bervariasi dikarenakan yaitu dengan
semakin banyaknya warna atau motif batik tersebut maka penggunaan lilin batik
akan semakin sedikit digunakan.
Pemakaian Obat Pewarna
Penggunaan obat
pewarna dalam proses produksi batik selama satu bulan berkisar antara 10 kg
sampai dengan 200 kg.
3.5 Implementasi
Kerjasama antar UKM Batik
Proses Produksi
batik pekalongan ini atas kerjasama beberapa UKM batik yang ada di daerah
Pekalongan seperti UKM yang berada di
kelurahan Pasirsari, kelurahan Laweyan dan UKM yang berada di kelurahan
Jenggot. Ketiga UKM ini saling berkolaborasi dan bersinergi. Karena ke 3
kelurahan/desa ini berada di Pekalongan, maka batik yang dihasilkan lebih
banyak menggunakan proses batik Pekalongan/Pesisisran untuk menonjolkan ciri
khasnya.
UKM di kelurahan
Pasirsari berperan sebagai pemasok kain dan pembuatan motif (membatik), selanjutnya
UKM di kelurahan Jenggot berperan dalam pemberian malam (lilin) dan pewarnaan pada
kain hingga menjadi batik setengah jadi (masih berupa kain batik). Sedangkan UKM
di kelurahan Laweyan berperan sebagai pengelola batik jadi (sudah dipola
menjadi pakaian jadi seperti baju, dress, dll) dan sebagai distributor. Selain
itu UKM
Batik Pekalongan memanfaatkan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dalam
menunjang aktivitas dan memajukan bisnisnya.
Sebuah UKM
dikatakan memiliki daya saing global apabila mampu menjalankan operasi
bisnisnya secara reliable, seimbang, dan berstandar tinggi. Oleh sebab itu, UKM
industri batik Pekalongan dituntut untuk melakukan perubahan guna meningkatkan
daya saingnya agar dapat terus berjalan dan berkembang. Salah satunya adalah
dengan cara menggunakan TIK. Pemanfaatan TIK pada proses bisnis kerjasama ini
bertujuan untuk membuat pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien.
Sistem TIK
dikatakan strategis jika dapat menciptakan nilai-nilai pada masing-masing proses
unit kegiatan industri UKM tersebut. Adapun model aplikasi TIK yang dapat
diimplementasikan pada UKM industri batik Pekalongan ini adalah untuk menambah
nilai tersebut, antara lain :
a.
Computer
Aided Design (CAD) yang berguna untuk poses riset dalam membantu merancang
desain batik sebelum proses pembatikan di lakukan, atau apabila suatu bahan
kain sudah dilakukan proses pembatikan, CAD dapat digunakan untuk mendesain
model pakaian jadinya.
b.
Sistem
Informasi Akuntansi (SIMAK) dan Sistem Informasi Keuangan (SIMKEU) yang berguna
dalam membantu aktivitas akuntansi suatu perusahaan industri batik dan juga
aktivitas keuangan untuk melihat rugi-laba perusahaan dan mutasi saldo keuangan
serta inventarisasi aset perusahaan.
c.
Electronic
Data Interchange (EDI), untuk menghubungkan pihak industri dengan pihak ketiga,
dalam hal ini adalah pemasok. Sistem teknologi informasi internal perusahaan
ini dihubungkan dengan sistem teknologi informasi pemasok dengan tujuan
efisiensi dan efektifitas pemesanan barang. Dalam implemantsi yang sedarhana,
e-mail dapat digunakan untuk menggantikan EDI.
d.
Inventory
Control System (ICS) dapat digunakan untuk mengatur persediaan produk jadi yang
berada dalam sistem inventori (gudang) dan barang jadi produksi yang siap untuk
di jual kepada konsumen.
Keempat sistem
tersebut telah diterapkan dalam kerjasama 3 kelurahan tersebut sehingga
terciptalah produksi yang efektif, efisien dan optimal.
BAB IV
SIMPULAN
DAN SARAN
4.1 Simpulan
Pembuatan Batik
jika dilakukan dengan kerjasama dan menerapkan TIK dapat mengefisiensi biaya
produksi dan menghasilkan produksi yang efektif dan optimal seperti halnya
kerjasama yang diterapkan oleh UKM Batik Pekalongan yang berada di kelurahan
Pasirsari, kelurahan Laweyan dan UKM yang berada di kelurahan Jenggot.
UKM di kelurahan
Pasirsari berperan sebagai pemasok kain dan pembuatan motif (membatik),
selanjutnya UKM di kelurahan Jenggot berperan dalam pemberian malam (lilin) dan
pewarnaan pada kain hingga menjadi batik setengah jadi (masih berupa kain
batik). Sedangkan UKM di kelurahan Laweyan berperan sebagai pengelola batik
jadi (sudah dipola menjadi pakaian jadi seperti baju, dress, dll) dan sebagai
distributor.
Selain itu UKM
Batik Pekalongan memanfaatkan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dalam
menunjang aktivitas dan memajukan bisnisnya. Aplikasi yang telah diterapkan
dalam kerjasama ini adalah Computer Aided Design (CAD), Sistem Informasi
Akuntansi (SIMAK) dan Sistem Informasi Keuangan (SIMKEU), Inventory Control
System (ICS) dan Electronic Data Interchange (EDI).
4.2 Saran
1.
Bagi pengusaha batik
diharapkan dapat mempertahankan corak dan motif khas lokal dan mampu menjaga
mutu mulai dari proses pemilihan kain, desain, menggoreskan malam, proses
pewarnaan dan pencelupan sehingga kualitas batik akan selalu meningkat tanpa
kehilangan ciri khas daerahnya.
2.
Menyikapi era
globalisasi dan seiring dengan perubahannya, perlu adanya terobosan dalam
pemasaran batik (Act locally think globally). Sehingga Batik dapat dipasarkan
secara internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Agus
Ahyari, 1989, Manajemen Produksi Pengendalian Produksi Buku I Pengendalian
Proses Pengendalian Bahan Baku Pengendalian Tenaga Kerja, Edisi 4,
Yogyakarta : BPFE.
Gujarati,
D.N., 2003, Basic Econometrics, 4th Edition, Mc Graw-Hill International
Editions
Lipsey,
Courant, Purvis dan Steiner, 1995, Penerjemah Wasana, Pengantar Mikroekonomi,
Edisi kesepuluh, Baruna Aksara, Jakarta.
Lincolin
Arsyad. 2000, Ekonomi Manajerial, BPFE, Yogyakarta.
Nicholson,
W, 1999, Penerjemah Bayu Mahendra, A.Aziz, Teori Ekonomi Mikro Prinsip Dasar
dan Pengembangannya, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sadono
Sukirno, 2002, Pengantar Teori Mikroekonomi, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Santosa
Doellah. 2002, Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan, Penerbit Danar Hadi,
Solo
Sukanto
Rekso Hadiprojo dan Indriyo Gito Sudarmo. 1998, Manajemen Produksi Edisi
4, BPFE, Yogyakarta.
Sidik
Prawiranegara. 1994 “Kebijaksanaan Pembinaan Pengusaha Kecil Khususnya
Tentang Organisasi Usaha Di Indonesia” Jurnal Ekonomi, Volume. 6
Salvatore,
D. Penerjemah Rudi Sitompul, 1996, Teori Mikro Ekonomi. Erlangga,
Jakarta.
Tim Peneliti Puslitbang
APTEL SKDI, “Daya Saing Bangsa &
Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi”, Balitbang SDM. Kominfo,
Jakarta. 2008.
Tulus
Tambunan. 2000, Analisis terhadap Peranan Industri Kecil/Rumah Tangga
di dalam Perekonomian Regional, http://psi.ut.ac.id/jurnal/4tulus.htm.
UU
No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Skala Kecil
Perpres
No. 7 tahun 2005 Tentang RPJMN 2004-2009
UU
RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Yan Rianto, Budi Triono, Chichi Shintia L, “Studi
Faktor-Faktor Determinan Kemampuan Inovasi UKM”, LIPI Press, Jakarta. 2006.
Zainudin, 2010, Teori Kerjasama, http://www.etd.library.ums.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar