Selasa, 01 Oktober 2013

Sistem Informasi Manajemen - Kerjasama antar UKM Batik Pekalongan untuk Mencapai Efisiensi dan Produksi yang Optimal


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Perkembangan industri yang makin meningkat membawa dampak positif bagi pertumbuhan perekonomian. Salah satu sektor industri yang menjadi pilar penyangga perekonomian di Indonesia adalah sektor Usaha Kecil Menengah (UKM). Peran UKM di Indonesia sangat besar, terutama pada tahun 1997 UKM mampu bertahan dan menyelamatkan perekonomian bangsa pada saat dilanda krisis ekonomi (Firdausy, 2003).
Dalam mengatasi krisis ekonomi 1997, MPR RI membuat Ketetapan MPR Nomor XVI Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, yang menyatakan bahwa ekonomi nasional diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi nasional agar terwujud pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya, serta terbentuknya keterkaitan dan kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku ekonomi dan saling memperkuat untuk mewujudkan demokrasi ekonomi dan efisiensi nasional yang berdaya saing tinggi (Tim Balitbangkop PK dan M, 1999).
Selain itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004 - 2009 menyebutkan bahwa sasaran Pembangunan Nasional adalah “Terlaksananya pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan (Perpres RI No. 7 tahun 2005).
Udjijanto dalam Ahmad Purnomo (2002:4) menyebutkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2000 bahwa perolehan PDB Indonesia sebesar 63,5%. Hal lain yang menarik perhatian adalah dalam suasana minimnya lapangan kerja, UKM Indonesia menyerap sekitar 73,6 juta pekerja. Kondisi tersebut menjadikan UKM sebagai salah satu sektor strategis yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pengembangannya.
Dengan adanya muatan local produk UKM yang cukup tinggi, maka diharapkan profit yang diperoleh UKM besar sehingga keuntungan nasional dari produk UKM akan besar pula. Dalam menghasilkan profit yang besar, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara efisiensi melalui penerapan kerjasama antar pelaku usaha yang dilakukan pada rantai nilai aktivitas produksi.
Terjalinnya kerjasama antar pelaku usaha pada sektor industri tersebut diharapkan mampu mewujudkan efisiensi di lingkungan industri, baik efisiensi ekonomi maupun perbaikan dalam hal sosial organisasi atau perbaikan manajemen usaha. Kerjasama yang diharapkan dalam upaya pencapaian efisiensi adalah kerjasama antar pelaku usaha dalam manajemen usahanya pada rantai nilai aktivitas produksi, mlai dari aliran pasokan bahan baku, proses produksi hingga distribusi pemasaran produk.
Salah satu contoh bentuk kerjasama yang terjalin antar pelaku usaha adalah kerjasama dalam pengadaan bahan baku secara kolektif. Pengadaan bahan baku secara kolektif memungkinkan pelaku usaha mendapatkan bahan baku dengan kualitas yang sama dengan harga yang lebih murah. Keuntungan dari pengadaan bahan baku kolektif sendiri adalah terjadinya penurunan cost production, sehingga biaya operasional dapat diminimalkan.
Contoh lain yang mendasari pentingnya kerjasama antar pelaku usaha adalah adanya pertukaran informasi dan teknologi antar pelaku usaha melalui kerjasama dalam klaster. Pelatihan dan workshop dalam klaster merupakan salah satu sarana terjadinya pertukaran informasi dan teknologi. Dengan demikian kualitas SDM dapat berkembang dan para pelaku usaha memperoleh informasi teknologi produksi baru yang mampu mengefisienkan kinerja produksi.
Hubungan kerjasama antar pelaku usaha dalam klaster sendiri dapat berbentuk sistem subkontrak. Pada umumnya sistem subkontrak ini merupakan sistem dimana UKM saling bekerjasama dan bersifat saling menguntungkan. UKM berskala sedang atau besar merupakan peng-order yang memberikan order kepada UKM berskala kecil. Produk yang dihasilkan oleh UKM berskala kecil tersebut nantinya akan dikemas dan dipasarkan oleh UKM bersakala besar atau sedang. Adanya sistem subkontrak ini dapat membangkitkan UKM berskala kecil sehingga mampu bertahan.

1.2    Rumusan Masalah
Pengembangan usaha kecil dan menengah merupakan dasar perekonomian dalam upaya perbaikan perekonomian nasional. Diantara usaha kecil dan menengah, usaha batik mempunyai karakteristik yang sangat khusus dan  merupakan kebudayaan Indonesia yang tetap bertahan secara konsisten. Kota Pekalongan merupakan pusat kerajinan batik dan sentra industri batik di Indonesia.
Dilihat dari sisi investasi industri batik di Pekalongan mencapai 51,85% dari total investasi sektor industri batik di Jawa Tengah tetapi hasil yang diproduksi hanya mencapai 29,67% (produksi dalam rupiah) dari seluruh total produksi industri batik di Jawa Tengah, kondisi ini membuktikan bahwa produksi batik di Pekalongan belum optimal walaupun dilihat dari industri fisiknya memiliki ciri khas yang khusus dan industrinya cenderung telah inovatif.
Oleh karena itu untuk meningkatkan produksi dan efesiensi biaya dapat dilakukan dengan kerjasama antar UKM dalam proses produksi di daerah Pekalongan. Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah ini adalah “Bagaimana Sitem Kerjasama antar UKM Batik di Daerah Pekalongan dalam Memproduksi Batik secara optimal”.

1.3    Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memaparkan bahwa terdapat pengaruh kerjasama antar UKM Batik dalam mencapai efisiensi biaya produksi dan peningkatan produksi Batik di daerah Pekalongan, Jawa Tengah sehingga menjadi sentra usaha Batik yang optimal.

1.4    Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan penulis dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan dan manfaat bagi pengusaha UKM Batik dalam meningkatkan produksi yang optimal dengan biaya se-efisien mungkin melalui kerjasama antar UKM Batik.
2.    Makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah agar lebih peduli terhadap UKM demi peningkatan UKM dalam menopang pendapatan daerah maupun PDB.
3.    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah dalam menentukan kebijakan terutama berkaitan dengan pengembangan UKM.


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1    Definisi UKM
Menurut UU RI No. 9 Tahun 1995 Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan berbentuk usaha perseorangan yang bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa dan mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta dan mempunyai nilai penjualan tahunan sebesar satu milyar rupiah atau kurang. Usaha menengah adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau badan, yang bertujuan untuk memproduksi barang/jasa untuk diperniagakan secara komersial, untuk sektor industri memiliki total asset paling banyak Rp. 5 milyar dan non industri yang mempunyai nilai penjualan per tahun lebih besar dari satu milyar namun kurang dari Rp. 50 milyar. Definisi tersebut yang diacu oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag), Bank Indonesia, Departemen Keuangan maupun Depkop dan UKM yang sekarang menjadi Sekretariat Menteri Koperasi dan UKM. Badan Pusat Statistik (BPS) membuat batasan UKM didasarkan tenaga kerja (tidak termasuk pemilik), yaitu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau badan, yang bertujuan untuk memproduksi barang/jasa untuk diperniagakan secara komersil, dengan jumlah tenaga kerja dibawah 100 orang.

2.2    Teori Kerjasama
Argent dalam Santosa (1992:29) menyatakan bahwa kerjasama merupakan usaha terkoordinasi di antara anggota  kelompok atau masyarakat yang diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Lebih lanjut Santosa (1992: 29-30) menyatakan bahwa kerjasama adalah suatu bentuk interaksi sosial di mana tujuan anggota kelompok yang satu berkaitan erat dengan tujuan anggota kelompok yang lain atau tujuan kelompok secara keseluruhan sehingga seseorang individu hanya dapat mencapai tujuan bila individu lain juga mencapai tujuan.
Menurut Zainudin dalam website www.etd.library.ums.ac.id kerjasama merupakan
Kepedulian satu orang atau satu pihak dengan orang atau pihak lain yang tercermin dalam suatu kegiatan yang menguntungkan semua pihak dengan prinsip saling percaya, menghargai dan adanya norma yang mengatur, makna kerjasama dalam hal ini adalah kerjasama dalam konteks organisasi, yaitu kerja antar anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi (seluruh anggota).
Sedangkan Menurut Pamudji dalam bukunya yang berjudul “Kerjasama Antar Daerah” (1985:12-13) Kerjasama pada hakekatnya mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih yang berinteraksi secara dinamis untuk mencapai suatu tujuan bersama. Dalam pengertian itu terkandung tiga unsur pokok yang melekat pada suatu kerangka kerjasama, yaitu unsur dua pihak atau lebih, unsur interaksi dan unsur tujuan bersama. Jika satu unsur tersebut tidak termuat dalam satu obyek yang dikaji, dapat dianggap bahwa pada obyek itu tidak terdapat kerjasama.
Unsur dua pihak, selalu menggambarkan suatu himpunan yang satu sama lain saling mempengaruhi sehingga interaksi untuk mewujudkan tujuan bersama penting dilakukan. Apabila hubungan atau interaksi itu tidak ditujukan pada terpenuhinya kepentingan masing-masing pihak, maka hubungan yang dimaksud bukanlah suatu kerjasama. Suatu interaksi meskipun bersifat dinamis, tidak selalu berarti kerjasama. Suatu interaksi yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses interaksi, juga bukan suatu kerjasama. Kerjasama senantiasa menempatkan pihak-pihak yang berinteraksi pada posisi yang seimbang, serasi dan selaras.

2.3    Teori Produksi
Produksi adalah perubahan dari dua atau lebih input (sumber daya) menjadi satu atau lebih output (produk). Menurut Tati Suhartati dan Fathorozi (2003:77) produksi merupakan hasil akhir dari proses aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan demikian kegiatan produksi adalah mengkombinasikan berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output.
Sasaran dari teori produksi adalah untuk menentukan tingkat produksi yang optimal dengan sumber daya yang ada. Gunawan dan Lanang A. Iswara (1987:6) mengatakan bahwa produksi mencakup setiap pekerjaan yang menciptakan atau menambah nilai dan guna suatu barang atau jasa. Agar produksi dapat dijalankan untuk menciptakan hasil, maka diperlukan beberapa faktor produksi (input). Faktor-faktor input perlu diproses bersamasama untuk menghasilkan output dalam suatu proses produksi (metode produksi).
Lebih lanjut Lipsey (1995:426) mengatakan bahwa teori produksi meliputi 1). Jangka pendek dimana apabila seorang produsen menggunakan faktor produksi maka ada yang bersifat tetap dan variabel. 2). Jangka panjang apabila semua input yang dipergunakan adalah input tetap dan belum ada perubahan teknologi. 3). jangka sangat panjang dimana semua input yang dipergunakan berubah disertai dengan adanya perubahan teknologi. Dalam hal ini periode waktu tersebut tidak dapat diukur dalam bentuk kalender atau penanggalan.

2.4    Fungsi Produksi
Fungsi produksi menurut Boediono (1992:64) adalah suatu fungsi atau persamaan yang menunjukkan hubungan teknis antara tingkat output dan tingkat kombinasi dari penggunaan input-input. Salvatore (1996:97) menyatakan bahwa fungsi produksi untuk setiap komoditi adalah suatu persamaan, tabel atau grafik yang menunjukkan jumlah (maksimum) komoditi yang dapat diproduksi per unit waktu untuk setiap kombinasi input alternatif bila menggunakan teknik produksi terbaik yang tersedia.
Menurut Lipsey (1995:129) fungsi produksi adalah hubungan antara input yang dipergunakan dalam proses produksi dengan kuantitas yang dihasilkan. Lebih lanjut Sadono Sukirno (2003; 194) menyatakan bahwa fungsi produksi adalah kaitan di antara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakan.
Setiap kegiatan produksi memerlukan faktor-faktor produksi. Besarnya hasil produksi (Q) tergantung dari jumlah dan kombinasi input misalnya antara kapital (K) dan tenaga kerja (L) yang digunakan. Hubungan teknis antara faktor-faktor produksi dengan jumlah produksi dinyatakan dalam suatu fungsi produksi : Q = f (K, L). Fungsi tersebut memperlihatkan bahwa jumlah maksimum barang atau jasa yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan tenaga kerja (L) (Nicholson, 1995:200).

2.5    Faktor Produksi
Sadono Sukirno (2003:192) mengatakan bahwa faktor produksi sering disebut dengan korbanan produksi untuk menghasilkan produksi. Faktor produksi dikenal dengan istilah input dan jumlah produksi disebut dengan output. Input merupakan hal yang mutlak untuk menghasilkan produksi. Dalam proses produksi ini seorang pengusaha dituntut untuk mampu mengkombinasikan beberapa input sehingga dapat menghasilkan produksi yang optimal.
Untuk mempermudah analisis, faktor produksi dianggap tetap kecuali tenaga kerja sehingga pengaruh faktor produksi terhadap kuantitas produksi dapat diketahui secara jelas. Dapat disimpulkan bahwa kuantitas produksi dipengaruhi oleh banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan. Banyaknya faktor produksi ini tidak dipengaruhi oleh banyaknya hasil produksi.

2.5.1   Tenaga Kerja
Faktor produksi tenaga kerja merupakan faktor yang penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi, baik dalam kuantitas dan kualitas. Jumlah tenaga kerja yang diperlukan harus disesuaikan dengan kebutuhan sampai tingkat tertentu hingga dicapai hasil yang optimal. Menurut UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
BPS (1997:52) menyatakan bahwa tenaga kerja terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Yang masuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (10 tahun atau lebih) yang bekerja atau punya pekerjaan sementara tidak bekerja dan yang mencari pekerjaan. Yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk (10 tahun atau lebih) yang kegiatannya tidak bekerja maupun mencari pekerjaan atau penduduk usia kerja dengan kegiatan sekolah, mengurus rumah tangga maupun lainnya (pensiunan, cacat jasmani).

2.5.2   Bahan Baku
Menurut Sukanto Rekso Hadiprojo dan Indriyo Gito Sudarmo (1998:1999) mengatakan bahwa bahan baku merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Kekurangan bahan dasar yang tersedia dapat berakibat terhentinya proses produksi karena habisnya bahan baku untuk diproses. Tersedianya bahan dasar yang cukup merupakan faktor penting guna menjamin kelancaran proses produksi. Oleh karena itu perlu diadakan perencanaan dan pengaturan terhadap bahan dasar ini baik mengenai kuantitas maupun kualitasnya. Dalam hal ini cara penyediaan bahan baku ada 2 alternatif, yaitu :
1.    Dibeli sekaligus jumlah seluruh kebutuhan tersebut kemudian disimpan di gudang, setiap kali dibutuhkan oleh proses produksi dapat diambil dari gudang.
2.    Berusaha memenuhi kebutuhan bahan dasar tersebut dengan membeli berkali-kali dalam jumlah yang kecil dalam setiap kali pembelian.
Menurut Agus Ahyari (1989:150) ada beberapa kelemahan apabila perusahaan melakukan persediaan bahan baku yang terlalu kecil, antara lain:
1.    Harga beli dari bahan baku tersebut menjadi lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pembelian normal dari perusahaan yang bersangkutan.
2.    Apabila kehabisan bahan baku akan mengganggu kelancaran proses produksi.
3.    Frekuensi pembelian bahan baku semakin besar mengakibatkan ongkos semakin besar.
Lebih lanjut Agus Ahyari mengatakan bahwa beberapa kerugian yang akan ditanggung oleh perusahaan berkaitan dengan persediaan bahan baku yang terlalu besar, antara lain :
1.    Biaya penyimpanan atau pergudangan yang akan menjadi tanggungan perusahaan yang bersangkutan akan menjadi semakin besar.
2.    Penyelenggaraan persediaan bahan baku yang terlalu besar akan berarti perusahaan tersebut mempersiapkan dana yang cukup besar.
3.    Tingginya biaya persediaan bahan baku, mengakibatkan berkurangnya dana untuk pembiayaan dan investasi pada bidang lain.
4.    Penyimpanan yang terlalu lama dapat menimbulkan kerusakan bahan tersebut.
5.    Apabila bahan dasar tersebut terjadi penurunan harga, maka perusahaan mengalami kerugian.
Dapat disimpulkan bahwa penyediaan bahan baku harus tepat sesuai kebutuhan produksi sehingga tidak terjadi kekurangan atau kelebihan yang menimbulkan biaya overhead dan/atau kerusakan bahan akibat terlalu lama disimpan.














BAB III
PEMBAHASAN

3.1    Keadaan Geografis Kota Pekalongan
Secara geografis Kota Pekalongan terletak di dataran rendah pantai utara pulau Jawa, dengan ketinggian lebih kurang 1 meter di atas permukaan laut dan posisi geografis antara 6o50’42” – 6o55’44” Lintang Selatan dan 109o37’55” – 109o42’19” Bujur Timur. Letak wilayah yang berada pada daerah khatulistiwa menjadikan Kota Pekalongan memiliki iklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim panas.
Kota Pekalongan memiliki luas wilayah 45,25 km2 yang terbagi dalam empat kecamatan yaitu Kecamatan Pekalongan Utara, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kecamatan Pekalongan Barat dan Kecamatan Pekalongan Timur dan terdiri dari 46 kelurahan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : sebelah utara laut jawa, sebelah selatan Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang, sebelah barat Kabupaten Pekalongan dan sebelah timur Kabupaten Batang.
Jumlah penduduk Kota Pekalongan pada tahun 2004 adalah 264.932 jiwa, terdiri dari 130.983 laki-laki (49,44%) dan 133.949 perempuan (50,56%). Kepadatan penduduk Kota Pekalongan cenderung meningkat seiring dengan kenaikan jumlah penduduk.

3.2    Sekilas Sentra UKM Batik Kota Pekalongan
Pekalongan dikenal dengan sebutan kota batik. Masyarakatnya sebagian besar berkecimpung di bidang usaha pembatikan. Sentra usaha kecil menengah batik Pekalongan terdapat di Kelurahan Pasirsari Kecamatan Pekalongan Barat dan Kelurahan Jenggot Kecamatan Pekalongan Selatan. Di sentra tersebut terdapat 60 pengusaha batik dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 855 orang. Modal yang digunakan oleh pengusaha sebagian besar adalah modal sendiri.
Dinamika para pengusaha batik dalam memproduksi berbagai jenis produk berkaitan dengan peranan para usahawan batik dalam upaya mereka mencari bentuk, jenis dan motif seiring dengan makin berkembangnya motif yang sesuai dengan minat dan daya beli konsumen. Adapun intensitas produksi batik cap berorientasi pada pesanan. Standar upah bagi tenaga kerja adalah sebesar Rp. 150.000/minggu untuk laki-laki dan perempuan sebesar Rp. 80.000/minggu. Upah umumnya diberikan atas dasar mingguan yang jatuh pada setiap hari kamis atau dikenal dengan istilah kamisan sedangkan hari libur yaitu pada hari Jumat. Jam kerja dimulai dari jam 08.00 s/d 16.00 wib.
Sumber bahan baku baik untuk bahan baku batik maupun untuk pewarnaan sampai saat ini relatif tidak sulit didapatkan karena hampir seluruh kebutuhan dapat dipenuhi oleh pasar lokal baik melalui toko eceran maupun pasar grosir. Untuk alat batik cap terbagi 2 (dua) jenis yaitu cap tembaga dan cap kayu. Untuk cap kayu harganya lebih murah dibandingkan dengan cap tembaga namun untuk kualitas lebih bagus jika menggunakan cap tembaga. Adapun harga cap tembaga berkisar Rp. 200.000 s/d 500.000 per buah. Berbagai jenis dan model Cap tembaga tersebut mudah didapatkan di pasar Landungsari Kota Pekalongan.
Lokasi usaha batik baik untuk batik tulis maupun cap, berlokasi di sekitar rumah. Tempat usaha batik umumnya berlokasi di pendopo belakang rumah atau di samping/di sisi kiri atau kanan rumah. Penempatan usaha seperti ini erat hubungannya dengan desain rumah serta keberadaan sarana penunjang misalnya sumber air untuk menunjang keperluan perendaman bahan baku, pembatikan, perebusan, pencucian/pembilasan dan penjemuran.

3.3    Proses Produksi Batik
Saat ini dikenal ada empat macam proses pembuatan batik yang baku, yaitu secara tradisional, kesikan, dan pekalongan/pesisiran, dan batik cap yaitu :
1.    Proses Batik Tradisional yaitu proses membatik yang menggunakan warna biru indigo dan soga dengan tahapan sebagai berikut :
a.    Membatik, yaitu membuat pola pada mori dengan menempelkan lilin batik menggunakan canthing tulis.
b.    Nembok, yaitu menutup bagian-bagian pola yang akan dibiarkan tetap bewarna putih dengan lilin batik.
c.    Medel, yaitu mencelup mori yang sudah diberi lilin batik ke dalam warna biru.
d.   Ngerok dan Nggirah, yaitu menghilangkan lilin dari bagian-bagian yang akan diberi warna soga (cokelat).
e.    Mbironi, yaitu menutup bagian-bagian yang akan tetap berwarna biru dan tempat-tempat yang terdapat cecek.
f.     Nyoga, yaitu mencelup mori ke dalam larutan soga (coklat).
g.    Nglorod, yaitu menghilangkan lilin batik dengan air mendidih. Tahap ini sekaligus merupakan tahap terakhir dari proses batik tradisional.
2.    Proses Batik Kesikan yaitu dengan proses lorodan, yakni menggunakan cara nglorod pada tahap ngerok dalam proses tradisional. Adapun urutan pengerjaannya sebagai berikut :
a.    Membatik
b.    Nembok
c.    Medel
d.   Nglorod, yaitu menghilangkan semua lilin yang menempel pada mori menjadi kelengan.
e.    Ngesik, yaitu menutup bagian pola yang akan dibiarkan tetap bewarna biru serta bagian yang akan tetap bewarna putih dan cecek.
f.     Nyoga
g.    Nglorod, tahap ini merupakan tahap terakhir dari proses batik kesikan.
3.    Proses Pekalongan/Pesisiran yaitu proses membatik dengan pewarnaan tidak seluruhnya dilaksanakan dengan pencelupan. Pewarnaan ini dilakukan pada bagian tertentu. Pola pewarnaan cukup dengan “menyapukan larutan zat pewarna (coletan)”, sehingga dapat dilakukan pewarnaan secara serentak dengan berbagai macam warna. Adapun prosesnya sebagai berikut :
a.    Membatik
b.    Nyolet, yaitu memberi warna pada bagian-bagian tertentu pola dengan menyapukan larutan zat warna pada bagian-bagian tersebut.
c.    Nutup, yaitu menutup bagian yang telah di colet dengan lilin batik.
d.   Ndhasari, yaitu mencelup latar pola dengan zat pewarna, yang dikehendaki.
e.    Menutup dasaran, yaitu menutup bagian-bagian latar pola yang sudah diwarnai.
f.     Medel
g.    Nglorod
h.    Nutup dan granitan, yaitu menutup bagian-bagian yang telah diberi warna dan bagian yang akan dibiarkan tetap putih serta membuat titik-titik putih pada garis-garis di luar pola yang disebut granit dengan lilin batik.
i.      Nyoga
j.      Nglorod, tahap ini merupakan tahap terakhir dari proses batik pekalongan/pesisiran.
4.    Proses batik cap yaitu proses membatik dengan menggunakan alat cap. Dalam proses ini untuk satu siklus produksi batik cap dibutuhkan waktu 1minggu. Adapun prosesnya sebagai berikut :
a.    Penyiapan bahan baku batik cap (Mori primisima).
b.    Menghilangkan malam bawaan benang bahan baku (pembilasan dengan air dingin).
c.    Pengeringan/penjemuran.
d.   Penyiapan peralatan dan bahan pewarnaan untuk proses batik cap serta motif batik cap.
e.    Proses pembatikan cap (proses pewarnaan dapat dilakukan berulang-ulang, umumnya hanya 2 (dua) warna.
f.     Pelorotan/pembilasan.
g.    Pengeringan.
h.    Pengemasan sampai dengan siap kirim.

3.4    Penggunaan Faktor Produksi
Penyerapan Tenaga Kerja
Jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh setiap pengusaha dalam kegiatan produksi berbeda-beda. Banyaknya tenaga kerja yang digunakan rata-rata berkisar antara 4 sampai dengan 20 orang.
Penggunaan Kain
Jumlah dalam penggunaan bahan baku kain untuk kegiatan produksinya, setiap pengusaha berlainan. Banyaknya penggunaan kain berkisar antara 1000 s/d 15.000 meter.
Penggunaan Lilin Batik.
Para pengusaha dalam menggunakan malam selama satu bulan bervariasi berkisar antara 25 kg sampai dengan 800 kg. Penggunaan banyaknya lilin batik atau malam yang digunakan dalam proses produksi batik bervariasi dikarenakan yaitu dengan semakin banyaknya warna atau motif batik tersebut maka penggunaan lilin batik akan semakin sedikit digunakan.
Pemakaian Obat Pewarna
Penggunaan obat pewarna dalam proses produksi batik selama satu bulan berkisar antara 10 kg sampai dengan 200 kg.


3.5    Implementasi Kerjasama antar UKM Batik
Proses Produksi batik pekalongan ini atas kerjasama beberapa UKM batik yang ada di daerah Pekalongan  seperti UKM yang berada di kelurahan Pasirsari, kelurahan Laweyan dan UKM yang berada di kelurahan Jenggot. Ketiga UKM ini saling berkolaborasi dan bersinergi. Karena ke 3 kelurahan/desa ini berada di Pekalongan, maka batik yang dihasilkan lebih banyak menggunakan proses batik Pekalongan/Pesisisran untuk menonjolkan ciri khasnya.
UKM di kelurahan Pasirsari berperan sebagai pemasok kain dan pembuatan motif (membatik), selanjutnya UKM di kelurahan Jenggot berperan dalam pemberian malam (lilin) dan pewarnaan pada kain hingga menjadi batik setengah jadi (masih berupa kain batik). Sedangkan UKM di kelurahan Laweyan berperan sebagai pengelola batik jadi (sudah dipola menjadi pakaian jadi seperti baju, dress, dll) dan sebagai distributor. Selain itu UKM Batik Pekalongan memanfaatkan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dalam menunjang aktivitas dan memajukan bisnisnya.
Sebuah UKM dikatakan memiliki daya saing global apabila mampu menjalankan operasi bisnisnya secara reliable, seimbang, dan berstandar tinggi. Oleh sebab itu, UKM industri batik Pekalongan dituntut untuk melakukan perubahan guna meningkatkan daya saingnya agar dapat terus berjalan dan berkembang. Salah satunya adalah dengan cara menggunakan TIK. Pemanfaatan TIK pada proses bisnis kerjasama ini bertujuan untuk membuat pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien.
Sistem TIK dikatakan strategis jika dapat menciptakan nilai-nilai pada masing-masing proses unit kegiatan industri UKM tersebut. Adapun model aplikasi TIK yang dapat diimplementasikan pada UKM industri batik Pekalongan ini adalah untuk menambah nilai tersebut, antara lain :
a.    Computer Aided Design (CAD) yang berguna untuk poses riset dalam membantu merancang desain batik sebelum proses pembatikan di lakukan, atau apabila suatu bahan kain sudah dilakukan proses pembatikan, CAD dapat digunakan untuk mendesain model pakaian jadinya.
b.    Sistem Informasi Akuntansi (SIMAK) dan Sistem Informasi Keuangan (SIMKEU) yang berguna dalam membantu aktivitas akuntansi suatu perusahaan industri batik dan juga aktivitas keuangan untuk melihat rugi-laba perusahaan dan mutasi saldo keuangan serta inventarisasi aset perusahaan.
c.    Electronic Data Interchange (EDI), untuk menghubungkan pihak industri dengan pihak ketiga, dalam hal ini adalah pemasok. Sistem teknologi informasi internal perusahaan ini dihubungkan dengan sistem teknologi informasi pemasok dengan tujuan efisiensi dan efektifitas pemesanan barang. Dalam implemantsi yang sedarhana, e-mail dapat digunakan untuk menggantikan EDI.
d.   Inventory Control System (ICS) dapat digunakan untuk mengatur persediaan produk jadi yang berada dalam sistem inventori (gudang) dan barang jadi produksi yang siap untuk di jual kepada konsumen.
Keempat sistem tersebut telah diterapkan dalam kerjasama 3 kelurahan tersebut sehingga terciptalah produksi yang efektif, efisien dan optimal.






















BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

4.1    Simpulan
Pembuatan Batik jika dilakukan dengan kerjasama dan menerapkan TIK dapat mengefisiensi biaya produksi dan menghasilkan produksi yang efektif dan optimal seperti halnya kerjasama yang diterapkan oleh UKM Batik Pekalongan yang berada di kelurahan Pasirsari, kelurahan Laweyan dan UKM yang berada di kelurahan Jenggot.
UKM di kelurahan Pasirsari berperan sebagai pemasok kain dan pembuatan motif (membatik), selanjutnya UKM di kelurahan Jenggot berperan dalam pemberian malam (lilin) dan pewarnaan pada kain hingga menjadi batik setengah jadi (masih berupa kain batik). Sedangkan UKM di kelurahan Laweyan berperan sebagai pengelola batik jadi (sudah dipola menjadi pakaian jadi seperti baju, dress, dll) dan sebagai distributor.
Selain itu UKM Batik Pekalongan memanfaatkan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dalam menunjang aktivitas dan memajukan bisnisnya. Aplikasi yang telah diterapkan dalam kerjasama ini adalah Computer Aided Design (CAD), Sistem Informasi Akuntansi (SIMAK) dan Sistem Informasi Keuangan (SIMKEU), Inventory Control System (ICS) dan Electronic Data Interchange (EDI).

4.2    Saran
1.    Bagi pengusaha batik diharapkan dapat mempertahankan corak dan motif khas lokal dan mampu menjaga mutu mulai dari proses pemilihan kain, desain, menggoreskan malam, proses pewarnaan dan pencelupan sehingga kualitas batik akan selalu meningkat tanpa kehilangan ciri khas daerahnya.
2.    Menyikapi era globalisasi dan seiring dengan perubahannya, perlu adanya terobosan dalam pemasaran batik (Act locally think globally). Sehingga Batik dapat dipasarkan secara internasional.




DAFTAR PUSTAKA

Agus Ahyari, 1989, Manajemen Produksi Pengendalian Produksi Buku I Pengendalian Proses Pengendalian Bahan Baku Pengendalian Tenaga Kerja, Edisi 4, Yogyakarta : BPFE.
Gujarati, D.N., 2003, Basic Econometrics, 4th Edition, Mc Graw-Hill International Editions
Lipsey, Courant, Purvis dan Steiner, 1995, Penerjemah Wasana, Pengantar Mikroekonomi, Edisi kesepuluh, Baruna Aksara, Jakarta.
Lincolin Arsyad. 2000, Ekonomi Manajerial, BPFE, Yogyakarta.
Nicholson, W, 1999, Penerjemah Bayu Mahendra, A.Aziz, Teori Ekonomi Mikro Prinsip Dasar dan Pengembangannya, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sadono Sukirno, 2002, Pengantar Teori Mikroekonomi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Santosa Doellah. 2002, Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan, Penerbit Danar Hadi, Solo
Sukanto Rekso Hadiprojo dan Indriyo Gito Sudarmo. 1998, Manajemen Produksi Edisi 4, BPFE, Yogyakarta.
Sidik Prawiranegara. 1994 “Kebijaksanaan Pembinaan Pengusaha Kecil Khususnya Tentang Organisasi Usaha Di Indonesia Jurnal Ekonomi, Volume. 6
Salvatore, D. Penerjemah Rudi Sitompul, 1996, Teori Mikro Ekonomi. Erlangga, Jakarta.
Tim Peneliti Puslitbang APTEL SKDI, “Daya Saing Bangsa & Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi”, Balitbang SDM. Kominfo, Jakarta. 2008.
Tulus Tambunan. 2000, Analisis terhadap Peranan Industri Kecil/Rumah Tangga di dalam Perekonomian Regional, http://psi.ut.ac.id/jurnal/4tulus.htm.
UU No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Skala Kecil
Perpres No. 7 tahun 2005 Tentang RPJMN 2004-2009
UU RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Yan Rianto, Budi Triono, Chichi Shintia L, “Studi Faktor-Faktor Determinan Kemampuan Inovasi UKM”, LIPI Press, Jakarta. 2006.
Zainudin, 2010, Teori Kerjasama, http://www.etd.library.ums.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar