Konsep
Tanggung Jawab
Dalam Makna
Responsibility
Burhanuddin
Salam, dalam bukunya “Etika Sosial”, memberikan pengertian bahwa responsibility
is having the character of a free moral agent, capable of determining one’s
acts, capable deterred by consideration of sanction or consequences. (Tanggung
jawab itu memiliki karakter agen yang bebas moral, mampu menentukan tindakan
seseorang, mampu ditentukan oleh sanki atau hukuman atau konsekuensi). Setidaknya
dari pengertian tersebut dapat kita ambil 2 kesimpulan yaitu : Harus ada
kesanggupan untuk menetapkan suatu perbuatan dan harus ada kesanggupan untuk
memikul resiko atas suatu perbuatan.
Kemudian
kata tanggung jawab itu sendiri memiliki 3 unsur, yaitu:
1.
Kesadaran (awareness) berarti
tahu, mengetahui, mengenal. Dengan kata lain, seseorang baru dapat dimintai
pertanggungjawaban, bila yang bersangkutan sadar tentang apa yang dilakukannya;
2.
Kecintaan atau kesukaan
(affiction) berarti suka, menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan dan kesediaan
berkorban. Rasa cinta timbul atas dasar kesadaran, apabila tidak ada kesadaran
berarti rasa kecintaan tersebut tidak akan muncul. Jadi cinta timbul atas dasar
kesadaran, atas kesadaran inilah lahirnya rasa tanggung jawab;
3. Keberanian
(bravery) berarti suatu rasa yang didorong oleh rasa keikhlasan, tidak
ragu-ragu dan tidak takut dengan segala rintangan.
Jadi
pada prinsipnya tanggung jawab dalam arti responsibility
lebih menekankan pada suatu perbuatan yang harus atau wajib dilakukan secara
sadar dan siap untuk menanggung segala resiko dan atau konsekuensi apapun dari
perbuatan yang didasarkan atas moral tersebut. Dengan kata lain responsibility merupakan tanggung jawab
dalam arti sempit yaitu tanggung yang hanya disertai sanksi moral. Sehingga
tidak salah apabila pemahaman sebagian pelaku dan atau perusahaan terhadap CSR
hanya sebatas tanggung jawab moral yang mereka wujudkan dalam bentuk philanthropy maupun charity.
Dalam Makna
Liability
Berbicara tanggung jawab dalam
makna liability, berarti berbicara tanggung jawab dalam ranah hukum, dan
biasanya diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab keperdataan. Dalam hukum keperdataan,
prinsip-prinsip tanggung jawab dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Prinsip
tanggung jawab berdasarkan adanya unsure kesalahan (liability based on fault);
2. Prinsip
tanggung jawab berdasarkan praduga(presumption of liability);
3. Prinsip
tanggung jawab mutlak (absolute liability or strict liability).
Selain ketiga hal tersebut, masih
ada lagi khusus dalam gugatan keperdataan yang berkaitan dengan hukum
lingkungan ada beberapa teori tanggung jawab lainnya yang dapat dijadikan
acuan, yakni :
1. Market
share liability;
2. Risk
contribution;
3. Concert
of action;
4. Alternative
liability;
5. Enterprise
liability.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat
disimpulkan perbedaan antara tanggung jawab dalam makna responsibility dengan
tanggung jawab dalam makna liability pada hakekatnya hanya terletak pada sumber
pengaturannya. Jika tanggung jawab itu belum ada pengaturannya secara eksplisit
dalam suatu norma hukum, maka termasuk dalam makna responsibility. Sebaliknya, jika
tanggung jawab itu telah diatur di dalam norma hukum, maka termasuk dalam makna
liability
Munculnya Konsep CSR didorong oleh
terjadinya kecenderungan pada masyarakat industri yang dapat disingkat dengan fenomena
DEAF sebuah akronim dari Dehumanisasi, Equalisasi, Aquariumisasi, dan
Feminisasi ( Suharto, 2005)
1. Dehumanisas
industry. Efisien dan mekanisasi yang
semakin menguat di dunia industri telah menciptakan persoalan-persoalan
kemanusiaan baik bagi kalangan buruh di perusahaan tersebut, maupun bagi
masyarakat di sekitar perusahaan. “Merger
mania” dan perampingan perusahaan telah menimbulkan gelombang Pemutusan
Hubungan Kerja dan pengangguran, ekspansi
dan eksploitasi dunia
industri telah melahirkan polusi dan kerusakan lingkungan yang hebat.
2. Equalisasi
hak-hak publik. Masyarakat kini
semakin sadar akan haknya untuk
meminta pertanggungjawaban perusahaaan atas berbagai masalah sosial yang sering
kali ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan. Kesadaran ini
semakin menuntut akuntabilitas perusahaan bukan
saja dalam proses
produksi, melainkan pula
dalam kaitannya dengan kepedulian
perusahaan terhadap berbagai
dampak sosial yang ditimbulkannya.
3. Aquariumisasi
dunia industri. Dunia kerja ini semakin transparan dan terbuka laksana
sebuah akuarium. Perusahaan yang hanya
memburu rente ekonomi dan cenderung mengabaikan hokum, prinsip, etis dan
filantropis tidak akan mendapat dukungan publik. Bahkan dalam
banyak kasus, masyarakat
menuntut agar perusahaan seperti ini di tutup.
4. Feminisasi
dunia kerja. Semakin banyaknya wanita yang bekerja semakin menuntut dunia
perusahaan, bukan saja terhadap lingkungan internal organisasi seperti
pemberian cuti hamil dan melahirkan, kesehatan dan keselamatan kerja, melainkan
pula terhadap timbulnya biaya-biaya
sosial, seperti penelantaran anak, kenakalan remaja akibat berkurangnya
kehadiran ibu-ibu di rumah dan tentunya dilingkungan masyarakat. Pelayanan sosial
seperti perawatan anak
(child care), pendirian fasilitas pendidikan dan kesehatan
bagi anak-anak, atau pusat-pusat kegiatan olah raga dan rekreasi bagi remaja
bisa merupakan sebuah “kompensasi” sosial terhadap isu ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar