Selasa, 08 Oktober 2013

Manajemen Keuangan - Hukum Jual Beli Saham dalam Islam


Saham dapat diartikan surat bukti kepemilikan atas sebuah perusahaan yang melakukan penawaran umum (go public) dalam nominal ataupun persentase tertentu. Biasanya saham diwujudkan dalam lembaran kertas yang me­nerangkan bahwa pemilik lembaran saham ini adalah pemilik perusahaan yang mengeluarkan/menerbitkan surat berharga ini. Pada masa Rasulullah SAW dan sahabat, pasar yang terbentuk hanyalah pasar riil biasa yang mengadakan pertukaran barang dengan uang (jual-beli) dan pertukaran barang dengan barang (barter), sehingga belum ada hukum yang menjelaskan tentang saham dan muamalahnya.
Dikarenakan belum adanya ayat Al-Qur’an maupun Al Hadits yang menghukumi secara jelas dan pasti tentang keberadaan saham, maka para ulama dan fuqaha kontemporer  berusaha untuk menemukan hukum tersendiri untuk saham. Usaha tersebut lebih dikenal dengan istilah ijtihad, yaitu sebuah usaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan dan mengeluarkan hukum syariah yang belum dikemukakan secara jelas dengan mengacu pada sandaran dan dasar hukum yang diakui keabsahannya.
Para fuqaha kontemporer berselisih pendapat dalam memperlakukan saham dari aspek hukum (tahkim) khususnya dalam jual-beli. Ada sebagian yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Para fuqaha yang tidak membolehkan transaksi jual-beli saham memberikan beberapa argumentasi, antara lain :
1.    Saham dipahami sebagaimana layaknya obligasi (surat hutang), dimana saham juga merupakan hutang perusahaan terhadap para investor yang harus dikembalikan, maka dari itu memperjualbelikannya sama hukumnya dengan jual-beli hutang yang dilarang syariah.
2.    Banyaknya praktek jual-beli najasy di bursa efek.
3.    Para investor pembeli saham keluar dan masuk tanpa diketahui oleh seluruh pemegang saham.
4.    Harga saham yang diberlakukan ditentukan senilai dengan ketentuan perusahaan yaitu pada saat penerbitan dan tidak mencerminkan modal awal pada waktu pendirian.
5.    Harta atau modal perusahaan penerbit saham tercampur dan mengandung unsur haram sehingga menjadi haram semuanya.
6.    Transaksi jual-beli saham dianggap batal secara hukum, karena dalam transaksi tersebut tidak mengimplementasikan prinsip pertukaran (sharf). Jual-beli saham adalah pertukaran uang dan barang, maka prinsip saling menyerahkan (taqabudh) dan persamaan nilai (tamatsul) harus diaplikasikan. Dikatakan kedua prinsip tersebut tidak terpenuhi dalam transaksi jual-beli saham.
7.    Adanya unsur ketidaktahuan (jahalah) dalam jual-beli saham dikarenakan pembeli tidak mengetahui secara persis spesifikasi barang yang akan dibeli yang terefleksikan dalam lembaran saham. Sedangkan salah satu syarat syahnya jual-beli adalah diketahuinya barang (ma'luumu al mabi').
8.    Nilai saham pada setiap tahunnya tidak bisa ditetapkan pada satu harga tertentu, harga saham selalu berubah-ubah mengikuti kondisi pasar bursa saham, untuk itu saham tidak dapat dikatakan sebagai pembayaran nilai pada saat pendirian perusahaan.
Berbeda dengan pendapat pertama, para fuqaha yang membolehkan jual-beli saham mengatakan bahwa saham sesuai dengan terminologi yang melekat padanya. Saham yang dimiliki oleh seseorang menunjukkan sebuah bukti kepemilikan atas perusahaan tertentu yang berbentuk aset, sehingga saham merupakan cerminan kepemilikan atas aset tertentu. Logika tersebut dijadikan dasar pemikiran bahwa saham dapat diperjualbelikan sebagaimana layaknya barang. Para ulama kontemporer yang merekomendasikan perihal tersebut di antaranya Abu Zahrah, Abdurrahman Hasan, dan Khalaf sebagaimana dituangkan oleh Qardhawi dalam kitabnya Fiqhu Zakah yang menyatakan  bahwa jual-beli saham dibolehkan secara syariah dan hukum positif yang berlaku.
Aturan dan norma jual-beli saham tetap mengacu kepada pedoman jual-beli barang pada umumnya, yaitu terpenuhinya rukun, syarat, aspek 'an taradhin, serta terhindar dari unsur maisir, gharar, riba, haram, dhulm, ghisy, dan najasy. Praktek forward contract , short selling , option, insider trading, ''penggorengan'' saham , merupakan transaksi yang dilarang secara syariah dalam dunia pasar modal. Selain itu konsep preferred stock atau saham istimewa juga cenderung tidak diperbolehkan secara syariah karena dua alasan yaitu :
1.    Adanya keuntungan tetap (pre-determinant revenue) yang dikategorikan oleh kalangan ulama sebagai riba.
2.    Pemilik saham preferen mendapatkan hak istimewa terutama pada saat perusahaan dilikuidasi. Hal tersebut dianggap mengandung unsur ketidakadilan.
Adanya fatwa-fatwa ulama kontemporer tentang jual-beli saham semakin memperkuat landasan akan bolehnya jual-beli saham. Dalam kumpulan fatwa Dewan Syariah Nasional Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdillah Ibn Baz jilid 13 bab jual-beli  fatwa nomor 4016 dan 5149 tentang hukum jual-beli saham dinyatakan sebagai berikut : ''Jika saham yang diperjualbelikan tidak serupa dengan uang secara utuh apa adanya, akan tetapi hanya representasi dari sebuah aset seperti tanah, mobil, pabrik, dan yang sejenisnya, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang telah diketahui oleh penjual dan pembeli, maka dibolehkan hukumnya untuk diperjualbelikan dengan harga tunai ataupun tangguh, yang dibayarkan secara kontan ataupun beberapa kali pembayaran, berdasarkan keumuman dalil tentang bolehnya jual-beli''.
Di Indonesia, fatwa Dewan Syariah Nasional Indonesia No. 40/DSN-MUI/2003 juga telah memutuskan akan bolehnya jual-beli saham . Terkait saham-saham syariah yang dapat dibeli investor terdapat dalam Jakarta Islamic Index (JII) yang dilakukan evaluasi setiap enam bulan sekali yaitu periode Januari-Juni dan Juli-Desember yang jumlah emitennya ada 30 emiten.
Kegiatan emiten atau perusahaan yang bertentangan dengan prinsip hukum Syariah Islam tidak diperkenankan masuk dalam JII seperti :
1.    Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
2.    Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
3.    Usaha yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman yang tergolong haram.
4.    Usaha yang memproduksi, mendistribusi serta menyediakan barang-barang atau pun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
Dalam perkembangannya mulai tahun 2007, Bapepam Lembaga Keuangan sudah mengeluarkan Daftar Efek Syariah yang berisi emiten-emiten yang sahamnya sesuai dengan ketentuan syariah  berdasarkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 325/Bl/2007 Tentang Daftar Efek Syariah  tanggal 12 September 2007 yang berisi  174  saham syariah.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwasannya jual-beli saham hukumnya halal dengan syarat tidak mengindahkan hal-hal yang dilarang oleh syariah. Terlebih lagi di Indonesia telah difasilitasi dengan adanya JII yang menperjual-belikan saham-saham yang terjamin kehalalnya sehingga masyarakat di Indonesia tidak perlu khawatir tentang hukum jual-beli saham itu sendiri. Selain itu saham yang dihalalkan adalah jenis saham biasa. Untuk jenis saham preferen dan saham kosong hukumnya haram karena keuntungan yang diberikan kepada pemilik saham preferen adalah riba sebab modal mereka terjamin dan tetap mendapatkan keuntungan walaupun kinerja perusahaan merugi. Sedangkan saham kosong sering kali menjadi ancaman masa depan perusahaan sebab biasanya saham kosong sebagai pintu lebar terjadinya praktek manipulasi, suap dan tindakan tercela lainnya sehingga dapat merugikan perusahaan dan para pemegang saham. Kedua hal itu termasuk kedzoliman dan salah satu bentuk pengambilan harta orang lain dengan cara-cara yang menyalahi syari'at, diharamkan dan dilarang di dalam Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar