Saham dapat
diartikan surat bukti kepemilikan atas sebuah perusahaan yang melakukan
penawaran umum (go public) dalam nominal ataupun persentase tertentu.
Biasanya saham diwujudkan dalam lembaran kertas yang menerangkan bahwa pemilik
lembaran saham ini adalah pemilik perusahaan yang mengeluarkan/menerbitkan
surat berharga ini. Pada masa Rasulullah SAW dan sahabat, pasar yang terbentuk
hanyalah pasar riil biasa yang mengadakan pertukaran barang dengan uang
(jual-beli) dan pertukaran barang dengan barang (barter), sehingga belum ada
hukum yang menjelaskan tentang saham dan muamalahnya.
Dikarenakan
belum adanya ayat Al-Qur’an maupun Al Hadits yang menghukumi secara jelas dan
pasti tentang keberadaan saham, maka para ulama dan fuqaha kontemporer
berusaha untuk menemukan hukum tersendiri untuk saham. Usaha tersebut
lebih dikenal dengan istilah ijtihad, yaitu sebuah usaha dengan sungguh-sungguh
untuk mendapatkan dan mengeluarkan hukum syariah yang belum dikemukakan secara
jelas dengan mengacu pada sandaran dan dasar hukum yang diakui keabsahannya.
Para fuqaha
kontemporer berselisih pendapat dalam memperlakukan saham dari aspek hukum (tahkim)
khususnya dalam jual-beli. Ada sebagian yang membolehkan dan ada pula yang
tidak membolehkan. Para fuqaha yang tidak membolehkan transaksi jual-beli saham
memberikan beberapa argumentasi, antara lain :
1. Saham
dipahami sebagaimana layaknya obligasi (surat hutang), dimana saham juga
merupakan hutang perusahaan terhadap para investor yang harus dikembalikan,
maka dari itu memperjualbelikannya sama hukumnya dengan jual-beli hutang yang
dilarang syariah.
2. Banyaknya
praktek jual-beli najasy di bursa efek.
3. Para
investor pembeli saham keluar dan masuk tanpa diketahui oleh seluruh pemegang
saham.
4. Harga
saham yang diberlakukan ditentukan senilai dengan ketentuan perusahaan yaitu
pada saat penerbitan dan tidak mencerminkan modal awal pada waktu pendirian.
5. Harta
atau modal perusahaan penerbit saham tercampur dan mengandung unsur haram
sehingga menjadi haram semuanya.
6. Transaksi
jual-beli saham dianggap batal secara hukum, karena dalam transaksi tersebut
tidak mengimplementasikan prinsip pertukaran (sharf). Jual-beli saham
adalah pertukaran uang dan barang, maka prinsip saling menyerahkan (taqabudh)
dan persamaan nilai (tamatsul) harus diaplikasikan. Dikatakan kedua
prinsip tersebut tidak terpenuhi dalam transaksi jual-beli saham.
7. Adanya
unsur ketidaktahuan (jahalah) dalam
jual-beli saham dikarenakan pembeli tidak mengetahui secara persis spesifikasi
barang yang akan dibeli yang terefleksikan dalam lembaran saham. Sedangkan
salah satu syarat syahnya jual-beli adalah diketahuinya barang (ma'luumu al
mabi').
8. Nilai
saham pada setiap tahunnya tidak bisa ditetapkan pada satu harga tertentu,
harga saham selalu berubah-ubah mengikuti kondisi pasar bursa saham, untuk itu
saham tidak dapat dikatakan sebagai pembayaran nilai pada saat pendirian
perusahaan.
Berbeda dengan pendapat pertama, para
fuqaha yang membolehkan jual-beli saham mengatakan bahwa saham sesuai dengan
terminologi yang melekat padanya. Saham yang dimiliki oleh seseorang
menunjukkan sebuah bukti kepemilikan atas perusahaan tertentu yang berbentuk
aset, sehingga saham merupakan cerminan kepemilikan atas aset tertentu. Logika
tersebut dijadikan dasar pemikiran bahwa saham dapat diperjualbelikan sebagaimana
layaknya barang. Para ulama kontemporer yang merekomendasikan perihal tersebut
di antaranya Abu Zahrah, Abdurrahman Hasan, dan Khalaf sebagaimana dituangkan
oleh Qardhawi dalam kitabnya Fiqhu Zakah yang menyatakan bahwa
jual-beli saham dibolehkan secara syariah dan hukum positif yang berlaku.
Aturan dan norma jual-beli saham tetap
mengacu kepada pedoman jual-beli barang pada umumnya, yaitu terpenuhinya rukun,
syarat, aspek 'an taradhin, serta terhindar dari unsur maisir,
gharar, riba, haram, dhulm, ghisy,
dan najasy. Praktek forward contract , short selling ,
option, insider trading, ''penggorengan'' saham , merupakan
transaksi yang dilarang secara syariah dalam dunia pasar modal. Selain itu konsep
preferred stock atau saham istimewa juga cenderung tidak diperbolehkan
secara syariah karena dua alasan yaitu :
1. Adanya
keuntungan tetap (pre-determinant revenue) yang dikategorikan oleh kalangan
ulama sebagai riba.
2. Pemilik
saham preferen mendapatkan hak istimewa terutama pada saat perusahaan dilikuidasi.
Hal tersebut dianggap mengandung unsur ketidakadilan.
Adanya
fatwa-fatwa ulama kontemporer tentang jual-beli saham semakin memperkuat
landasan akan bolehnya jual-beli saham. Dalam kumpulan fatwa Dewan Syariah
Nasional Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdillah Ibn Baz
jilid 13 bab jual-beli fatwa nomor 4016 dan 5149 tentang hukum jual-beli
saham dinyatakan sebagai berikut : ''Jika saham yang diperjualbelikan tidak
serupa dengan uang secara utuh apa adanya, akan tetapi hanya representasi dari
sebuah aset seperti tanah, mobil, pabrik, dan yang sejenisnya, dan hal tersebut
merupakan sesuatu yang telah diketahui oleh penjual dan pembeli, maka
dibolehkan hukumnya untuk diperjualbelikan dengan harga tunai ataupun tangguh,
yang dibayarkan secara kontan ataupun beberapa kali pembayaran, berdasarkan
keumuman dalil tentang bolehnya jual-beli''.
Di Indonesia,
fatwa Dewan Syariah Nasional Indonesia No. 40/DSN-MUI/2003 juga telah
memutuskan akan bolehnya jual-beli saham . Terkait saham-saham syariah yang
dapat dibeli investor terdapat dalam Jakarta Islamic Index (JII) yang dilakukan
evaluasi setiap enam bulan sekali yaitu periode Januari-Juni dan Juli-Desember
yang jumlah emitennya ada 30 emiten.
Kegiatan emiten
atau perusahaan yang bertentangan dengan prinsip hukum Syariah Islam tidak
diperkenankan masuk dalam JII seperti :
1. Usaha
perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
2. Usaha
lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan asuransi
konvensional.
3. Usaha
yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman yang
tergolong haram.
4. Usaha
yang memproduksi, mendistribusi serta menyediakan barang-barang atau pun jasa
yang merusak moral dan bersifat mudarat.
Dalam
perkembangannya mulai tahun 2007, Bapepam Lembaga Keuangan sudah mengeluarkan
Daftar Efek Syariah yang berisi emiten-emiten yang sahamnya sesuai dengan
ketentuan syariah berdasarkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 325/Bl/2007 Tentang Daftar Efek Syariah
tanggal 12 September 2007 yang berisi 174 saham syariah.
Dari paparan di
atas dapat disimpulkan bahwasannya jual-beli saham hukumnya halal dengan syarat
tidak mengindahkan hal-hal yang dilarang oleh syariah. Terlebih lagi di
Indonesia telah difasilitasi dengan adanya JII yang menperjual-belikan
saham-saham yang terjamin kehalalnya sehingga masyarakat di Indonesia tidak
perlu khawatir tentang hukum jual-beli saham itu sendiri. Selain itu saham yang
dihalalkan adalah jenis saham biasa. Untuk jenis saham preferen dan saham
kosong hukumnya haram karena keuntungan
yang diberikan kepada pemilik saham preferen adalah riba sebab modal mereka
terjamin dan tetap mendapatkan keuntungan walaupun kinerja perusahaan merugi.
Sedangkan saham kosong sering kali menjadi ancaman masa depan perusahaan sebab
biasanya saham kosong sebagai pintu lebar terjadinya praktek manipulasi, suap
dan tindakan tercela lainnya sehingga dapat merugikan perusahaan dan para
pemegang saham. Kedua hal itu termasuk kedzoliman dan salah satu bentuk
pengambilan harta orang lain dengan cara-cara yang menyalahi syari'at,
diharamkan dan dilarang di dalam Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar